Perjalanan pagi hari dilanjutkan kembali dengan sedikit olahraga menyusuri sebuah tempat di kali Progo. Patrick menyebut di sungai ini, kerap dipakai sebagai tempat tradisi ruwatan atau tradisi penyucian diri, seperti layaknya melukat di Bali. Tradisi ruwatan dilakukan untuk melestarikan ajaran Sunan Kalijaga.
"Orang biasanya akan membawa makanan yang digunakan sebagai sesaji dan dilarung ke sungai."
Dalam sarapan di pinggir kali Progo, tatanan meja lesehan dengan santapan khas Magelang seperti mi lethek, jajan pasar, dan sajian Indonesia lainnya. Sang penjual, seorang ibu-ibu dengan hijab cokelat dan pupur putih bergincu merah dengan murah senyum menawarkan jajan pasar buatannya. Siapa yang mampu menolak melihat irisan gethuk, yangko, lupis, dan cenil warna-warni yang diletakkan di atas daun pisang hijau yang masih segar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() Nuansa makan malam di Pawon Pak Bilal |
Perjalanan kuliner 'meja Jawa' berlanjut ke dimensi pawon asli. Candi Pawon seolah jadi penanda lokasi, malam itu kami bersantap di dapur pak Bilal. Bukan sembarang pawon, bahasa Jawa untuk dapur, pintu yang dibuka Chef Petty Elliot dan Amanjiwo seolah membawa para tamu masuk ke dimensi berbeda. Masa di mana para ibu yang berkain dan bersanggul meracik semua makanannya. Sesekali dia memutar kayu bakar di tungku anglo untuk meratakan api. Keluarga pun berkumpul di sekitar bale di pawon untuk makan bersama.
"Di Manado, oma saya juga memasak dengan kayu bakar, tapi ini kali pertama saya masak dengan anglo seperti ini."
Dari urap sayur, tumis daun telo (ubi), tempe mendoan, kari ikan beong, ayam bakar Jawa, udang dan cumi bakar disajikan dalam tampah kecil beralas daun pisang. Daun pisang dalam makanan Indonesia memang menjadi salah satu penanda makan bersama. Rasanya akan makin nikmat jika makannya memakai tangan telanjang.
Berbagai versi sambal juga disajikan, namun dengan aroma arang kayu yang perlahan terbakar, ditambah dengan nasi putih dan merah yang diaron dengan periuk tradisional di antara temaramnya lampu sentir semakin menambah sensasinya.
Sebagai puncaknya, kolaborasi Chef Petty Elliot dengan Chef Reza Kurniawan membawa para tamu di malam puncak 'chef table' ala Javanese ke depan Borobudur.
Petty berkisah, dalam kolaborasinya ini, bukan cuma soal rasa tapi juga jiwa dan pengetahuan tentang kehidupan masa lalu. Misi keduanya, baik Petty maupun Reza adalah menghadirkan kembali kehidupan orang Indonesia di masa lampau yang tercatat dalam relief Candi Borobudur. From relief to plates, keduanya 'membaca' resep yang terukir dalam pahatan relief Candi.
Dari rujak buah, burung dara bacem, tuna ceviche, gadon sayuran, slow cooked duck breast, sampai ongol-ongol menjadi hasil intepretasi kedua disajikan dengan apik.
"Di dalam relief ada tergambar tentang bagaimana manusia pada masa itu menyantap unggas, jadi disesuaikan menjadi hidangan Slow cooked duck breast," kata Petty.
Meski terdengar seperti sebuah hidangan barat, namun slow cooked duck breast ini sebenarnya adalah daging dada bebek yang diolah jadi semur manis, namun bukan hidangan semur dengan kuah yang banyak melainkan semur ala fine dining.
Dia juga mengungkapkan bahwa berbagai makanan yang dibuatnya ini juga termaktub dalam buku kuliner terbarunya The Indonesian Table yang diterbitkan oleh Phaidon.
"Buku ini merupakan perjalanan hidup saya dari aneka masakan masa kecil saya di Manado, sampai catatan perjalanan saya keliling Indonesia dan dunia," katanya kepada CNNIndonesia.com.
"Total pembuatannya sampai 20 tahunan karena mencatat semua hal yang terjadi. Namun ada riset juga yang dilakukan dan tantangannya adalah kebanyakan makanan Indonesia tidak didokumentasikan jadi carinya agak sulit. Harapannya buku ini bisa jadi inspirasi diversity culture Indonesia, Indonesia seharusnya bisa menginfluence dunia dengan keberagamannya."
![]() Petty Elliot dan buku terbarunya |
Hidangan yang tak kalah menarik adalah gadon sayuran. Gadon adalah hidangan asli Jawa Tengah yang dibuat dari campuran daging cincang, telur, santan, yang dibumbui dan dibungkus dengan daun pisang.
Hanya saja, Reza tak menghadirkan gadon yang tradisional, dia memilih gadon vegetarian alias gadon sayuran.
"Semua dalam piring saya itu harus bisa dimakan, maka saya tidak memakai daun pisang untuk membungkus gadon sayur ini."
Alih-alih pakai daun pisang, dia memakai daun mengkudu untuk membungkus gadon sayur yang dibentuk bulat sebesar bola quidditch di Harry Potter. Jangan salah, tak ada rasa aneh dari daun mengkudu, rasanya justru tak jauh beda dengan daun singkong namun lebih kenyal dan teksturnya lebih halus meski punya tulang daun halus menjari.
Sebagai sensasi rasa yang lebih kuat dia juga memadukan dengan daun kenikir dan bumbu ketumbar yang dibuat foam.
Aneka sajian khas Jawa dari relief Candi Borobudur ini memberikan sebuah sensasi bersantap yang tak terlupakan. Secara tak langsung mengingatkan bagaimana sebuah resep kuliner sangat penting untuk dicatat dan menjadi warisan budaya bangsa. Tak cuma itu, makan makanan enak dan tahu sejarah adalah salah satu cara yang bisa membuat kehidupan jadi lebih bahagia.
(chs)