Lima tahun tak selalu cukup untuk penerimaan diri. Sampai sekarang, saya masih belajar menerima diri sendiri. Ada kalanya saya benar-benar tak ingin hidup, ada kalanya saya begitu menikmati hidup.
Gangguan bipolar memiliki dua fase yakni fase depresi dan fase manik. Fase itu selalu datang tiba-tiba.
Namun, tiap fase adalah pembelajaran. Depresi datang, saya belajar. Saya mencoba mengenal pemicunya (trigger), saya belajar menghadapinya dan akhirnya saya belajar mengenal diri saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Support system itu penting. Cuma yang tak kalah penting adalah diri sendiri, bagaimana saya bisa membangkitkan diri meski dalam kondisi terpuruk.
Lihat Juga : |
Saya mempersilakan diri saya untuk menangis saat sedih. Setelahnya, saya melakukan apa yang saya suka sebagai coping mechanism. Saya suka memasak dan memulas wajah dengan makeup. Saat gejolak emosi itu reda, saya menulis untuk menumpahkan segalanya.
Berbeda dengan fase depresi, di fase manik, saya seperti orang yang tidak pernah kehabisan energi. Yah, ada manfaatnya juga sih sebab tugas-tugas kuliah lancar dan produktif sepanjang hari.
Akan tetapi jeleknya, saya itu susah tidur, super cerewet dan impulsif apalagi soal belanja. Makeup sudah menumpuk, tapi ada saja yang dibeli.
Tak main-main, parfum seharga Rp2 juta pun pernah dibeli di tengah diri saya yang masih menyandang status mahasiswa dan berpaku pada uang jajan pemberian orang tua.
Demi kondisi tetap stabil, saya harus rutin minum obat setiap malam. Saya juga rutin konsultasi dengan psikolog seminggu sekali dan psikiater sebulan sekali.
Dengan kondisi emosi yang stabil, orang dengan gangguan bipolar tetap bisa sekolah, bekerja, dan bikin konten di media sosial, seperti yang saya lakukan.
Lewat berbagi di media sosial, saya merasa bisa memberikan dukungan atau minimal menemani orang-orang dengan kondisi serupa. Tak cuma soal gangguan bipolar, saya juga suka bikin konten soal makeup.
Kadang lucu juga saat menemukan komentar netizen yang bilang 'Bipolar kok bisa dandan?'.
Dulu, mungkin saya bisa menangis saat membaca komentar negatif. Tapi sekarang rasanya saya sudah kebal. Saya sadar tak semua orang harus paham. Ya sudah, silakan berkomentar.
(els/asr)