Hampir empat tahun saya tinggal di Korea Selatan untuk menamatkan kuliah S2 di Academy of Korean Studies. Sejak lama saya tertarik dengan hal-hal yang berbau Korea.
Saat kuliah S1 di Universitas Indonesia, saya pun mengambil jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea. Jurusan Sosiologi yang saya ambil di Academy of Korean Studies juga karena minat saya terhadap orang-orang dari Negeri Ginseng ini.
Saya tinggal di asrama kampus yang berada di Gyeonggido Seongnam, sebelah selatan Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan. Jika Seoul diibaratkan Jakarta, maka Seongnam adalah Depok. Pada dasarnya, saya tinggal di kawasan kota besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum tinggal di Korea, saya pernah berkunjung juga ke sini untuk liburan. Jadi, sebenarnya saat pindah ke Korea, sedikit banyak tahu soal Korea, karena saya juga mempelajarinya di kampus. Sambil kuliah, saya seringkali juga mendapat job sebagai penerjemah bahasa Korea dan Indonesia.
Saya pernah mendengar tentang tipikal masyarakat Korea yang individualistis. Saya pun akhirnya merasakan bagaimana sikap masyarakat di sana ketika naik MRT di Korea bersama teman-teman asal Indonesia, di mana beberapa di antaranya ada yang memakai hijab.
Saat di MRT, tiba-tiba ada seorang kakek yang marah dan meminta teman saya melepas hijabnya dengan alasan harus mengikuti budaya di Korea. Lalu, saya menegur kakek itu dan memberi penjelasan dengan bahasa Korea bahwa ini ajaran agama, walaupun sepertinya itu tidak mengubah sikap dia.
Tapi, yang lebih menyebalkan dan mengecewakan adalah tidak ada satu pun orang di kereta itu yang membela atau melerai kami. Orang-orang di kereta cuma melihat. Mereka juga kaget sepertinya saya bisa bahasa Korea dengan baik.
![]() |
Bahkan, seorang ibu di samping kakek itu malah geser ke samping menunjukkan gesture tak mau ikut campur. Dari pengalaman itu saya pertama kali tahu dan merasakan karakter masyarakat di sini, kaget juga.
Ternyata setelah aku tanya teman-teman asli Korea, orang-orang yang tidak peduli dengan orang lain itu biasa, memang seperti itu. Mereka tidak mau ikut campur urusan orang lain, karena kalau ikut campur, nanti malah kita yang kena masalah. Itu yang jadi masalah di Korea sekarang.
Salah satu bentuk masyarakat Korea yang individualistis adalah seperti itu. Mungkin salah satu positifnya dari sifat individualistis ini, mereka tahu batasan antara satu sama lain.
Pengalaman lain yang saya rasakan yakni ketika saya mengikuti beberapa les di Korea, nyaris di semua tempat les itu, orang-orang tidak saling berkomunikasi satu sama lain. Mereka tidak ada yang tanya seperti: dari mana atau namanya siapa.
Kami benar-benar cuma datang, terus belajar, habis itu pulang. Minim banget komunikasi satu sama lain, termasuk juga sesama orang Korea. Bahkan, saat les dance yang harusnya seru, mereka sibuk main ponsel masing-masing saat pintu tempat les belum dibuka.
Menurut teman-teman saya yang orang Korea, mereka memang pergi untuk melakukan tujuan mereka saja. Jadi, mereka tidak terlalu peduli sama orang lain.
Kalau ditanya apakah orang di Korea seperti yang digambarkan di drama-drama Korea? Itu tergantung genre dramanya ya. Tapi, kebanyakan memang beda banget dengan realitas yang ada. Saya enggak bilang ini bagus atau buruk ya.
Tapi, misalnya drama yang lucu, kadang yang digambarkan di drama dengan kenyataannya tidak seramah itu. Aslinya, orang-orang di sini itu formalitas banget. Banyak komunikasi antar manusianya berupa formalitas.
Misalnya, kalau di cafe, minimarket, atau salon, orang Korea punya nada bicaranya sendiri untuk bidang ekonomi mereka, jadi kedengarannya enggak natural. Ini mungkin agak sulit dijelaskan kepada orang yang enggak paham Bahasa Korea. Tapi kalau saya yang dengar tuh kaya: formalitas banget ngomongnya, jadi terlalu kaku.