Jakarta, CNN Indonesia --
Fajri, pria berusia 26 tahun dengan bobot 300 kilogram yang dirawat di RSCM meninggal dunia pada Kamis (22/6) lalu.
Fajri adalah pasien obesitas yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit tersebut. Dia telah menjalani perawatan kurang lebih 14 hari. Namun naas, kegagalan multi organ membuat Fajri tak bisa bertahan lebih lama lagi.
Fajri bukan pasien obesitas pertama yang pernah dirawat di RSCM. Direktur Utama rumah sakit, Lies Dina Liastuti menyebut ada beberapa pasien obesitas yang pernah ditangani di sana. Salah satunya Arya Permana, bocah obesitas yang kini sukses menurunkan berat badannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada beberapa kasus obesitas, salah satunya memang Arya yang berhasil ditangani hingga berat badannya turun," kata Lies saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Namun tidak demikian dengan nasib Fajri. Dokter spesialis anestesi RSCM, Sidharta Kusuma Manggala menyebut Fajri sempat mengalami kegagalan multi organ atau organ dysfunction syndrome. Hal ini terjadi karena Fajri mengalami syok septik akibat infeksi di beberapa bagian tubuhnya.
Kenapa obesitas di Indonesia makin banyak?
Kasus obesitas di Indonesia tak hanya dialami Fajri atau Arya. Bahkan, sempat ada laporan seorang wanita di Kalimantan, Titi Wati yang memiliki berat badan hingga 350 kilogram. Wanita ini pun meninggal dunia karena kegagalan multi organ beberapa tahun lalu.
Namun yang menjadi pertanyaan di tengah fokus pemerintah untuk mengatasi stunting, kasus obesitas justru bertambah. Hal ini dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) kasus obesitas di Indonesia juga terus mengalami peningkatan.
Per 2018, jumlah pasien obesitas di Indonesia mencapai angka 26,60 persen untuk laki-laki dan 44,40 persen penderita obesitas wanita. Padahal di 2016 saja jumlahnya baru mencapai 24,00 persen untuk penderita obesitas laki-laki, dan 41,60 persen untuk penderita obesitas wanita.
 Foto: iStockphoto/kwanchaichaiudom ilustrasi |
Lantas, kenapa jumlah obesitas di Indonesia terus meningkat? Apakah karena warga yang malas, atau karena tak ada regulasi hingga edukasi yang jelas soal penyebab dan bahaya obesitas ini?
Padahal jelas, obesitas bukan penyakit yang bisa disepelekan. Ada banyak penyakit yang bisa muncul saat seseorang mengalami obesitas. Bahkan jika tidak ditangani dengan cepat, penderitanya bisa meninggal dunia.
Faktanya, obesitas bukan cuma kelebihan berat badan. Lebih dari itu, obesitas adalah lemak yang terlalu banyak dan menumpuk di tubuh. Jika dibiarkan, lemak-lemak ini bisa mengganggu fungsi organ lain. Mulai dari hati, ginjal, bahkan jantung.
Dokter spesialis gizi di RSIA Melinda, Bandung, Johanes Casay Chandrawinata bahkan menyebut ada sekitar 35 persen orang dewasa di Indonesia yang saat ini mengalami obesitas. Data yang mungkin tidak benar-benar dicatat oleh lembaga kesehatan negara.
"Cukup tinggi, obesitas di Indonesia tuh tinggi dan memang terus meningkat setiap tahunnya," kata Johanes saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (25/6).
Menurutnya, ada banyak faktor kenapa obesitas termasuk sulit ditangani. Faktornya ada dari dalam dan dari luar.
Mulai dari faktor genetik, asupan makanan dan minuman dengan kalori yang berlebihan, kurang beraktivitas, kurang tidur, hingga masalah sosial-ekonomi juga cukup berpengaruh dalam pembentukan obesitas.
"Pada orang dewasa yang mengalami obesitas, biasanya penyebabnya ya campuran dari hal-hal tersebut," katanya.
Jika dilihat dari segi gizi misalnya, asupan makanan harian yang sangat tinggi kalori. Pagi orang tersebut makan nasi goreng dengan nugget, telur, dan kerupuk. Lalu siang dan malam hari tetap makan nasi, lengkap dengan lauk-pauknya.
"Belum lagi cemilan, kopi-kopi kekinian yang manis. Kue-kue, boba, minuman-minuman yang tinggi gula," kata dia.
Semua hal tersebut kata Johanes makin parah jika diimbangi dengan hidup yang serba malas gerak alias mager. Jarang beraktivitas fisik yang berat atau olahraga, hingga membuat lemak semakin menumpuk akibat asupan energi dengan pengeluaran yang tidak seimbang.
Regulasi tanpa edukasi hakikatnya nihil
Mencegah obesitas bukan hanya bicara soal makanan dan gaya hidup tidak sehat. Bisa jadi penyebab masyarakat obesitas adalah kurangnya 'kepedulian' negara terhadap warganya.
Tetapi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyebut pihaknya justru terus melakukan pemantauan terkait isu obesitas ini. Bahkan, pemerintah juga terus mengupayakan agar angka obesitas bisa mengalami penurunan.
Langkah yang diambil kata dia, salah satunya dengan mengeluarkan berbagai regulasi berkaitan dengan izin edar makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak.
"Sisi pencegahan bersifat edukasi melalui Inpres no 1/2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)," kata dia, melalui pesan singkat, Senin (26/6).
Kegiatan yang dilakukan dalam Germas ini misalnya, membudayakan makan buah dan sayur, tidak merokok, bahkan mengatur kandungan gula, garam, dan lemak pada makanan. Menurutnya, semua ini diatur dalam Permenkes no 30 tahun 2013.
"Dari situ kami memberlakukan pajak yang lebih tinggi terhadap produk yang mengandung gula, garam, lemak yang tinggi. Dengan harapan semakin mahal ya masyarakat enggan beli," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga mengatur peredaran makanan melalui Peraturan BPOM no 26 tahun 2021. Di dalamnya berisi aturan mengenai informasi nilai gizi pada label pangan olahan.
"Harus dicantumkan dengan harapan ini bisa mengedukasi masyarakat tentang kandungan nutrisi dan besarannya," kata dia.
Aturan-aturan ini memang nyata dan ada. Tapi perjalanannya, mungkin tak 100 persen berhasil lantaran seringkali edukasi masih sangat terbatas.
Sebagai contoh edukasi soal komposisi GGL (gula garam lemak) maksimal dalam satu hari pun juga terkesan diabaikan lantaran dianggap kurang 'kena' ke masyarakat. Edukasinya hanya berlaku pada lapisan masyarakat tertentu, bukan ke semua lapisan masyarakat sampai ke lapisan terbawah.
Obesitas ini memang bukan 100 persen kesalahan satu orang saja. Bukan hanya karena dia mager, bukan karena dia hanya tak kontrol makanan, tapi ada banyak 'tersangka' lain yang berbaris di belakang saat seseorang divonis mengalami obesitas.
[Gambas:Photo CNN]
Hal ini juga senada dengan pendapat Ahli Epidemiologi dan juga Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra. Dia mengatakan ada banyak faktor risiko penyebab obesitas. Salah satu contohnya adalah minuman dan makanan manis dengan kalori tinggi yang dijual bebas di pasaran.
Dia juga menyinggung kurangnya edukasi kepada masyarakat. Sebenarnya pemerintah juga sudah mengeluarkan mengeluarkan aturan terkait komposisi yang harus dicantumkan di kemasan makanan atau minuman. Tapi kenyataanya tak semua orang paham dengan informasi nilai gizi tersebut dan tak semua orang menaatinya.
Kemudahan untuk mendapatkan aneka makanan dan minuman 'tak sesuai aturan,' keinginan dapat cuan yang tinggi, dan juga keinginan untuk mendapatkan 'kenikmatan hidup' lewat makanan dan minuman, seringkali menjadi faktor pengabaian dan penyebab semakin tingginya obesitas.
Bayangkan, dengan hanya merogoh kocek Rp10 ribu saja bisa menikmati satu gelas cup kopi dengan susu, dengan gula, di siang hari. Enak sih, minum kopi susu segar di siang hari, tapi itu hanya segelas sehari, bagaimana dengan sisa hari lainnya? Apakah sama sekali tak konsumsi gula, lemak, dan garam dalam tiap makanan dan minuman yang disantap seharian?
Harga yang murah ini menjadi bunga gula-gula di tengah masyarakat.
"Nyatanya ya memang murah dan ada dimana-mana," katanya.
Selain itu, komposisi yang dicantumkan ini juga tak ada di semua makanan. Ambil contoh di kopi atau minuman kekinian, tak ada satupun komposisi gizi dan nutrisi yang disampaikan ke masyarakat.
"Less sugar? tanpa gula, apa benar tanpa gula? Karena ada juga kopi-kopi kekinian itu yang sudah diracik sendiri tanpa kita tahu isinya apa," kata dia.
Persoalan obesitas ini memang tak bisa dipukul rata hanya satu pihak yang salah. Ada peran diri sendiri, pedagang makanan dan minuman, hingga pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah.
Memberantas obesitas memang bukan perkara mudah tapi perlu lakukan, agar tidak ada Fajri-Fajri lain di masa depan.
"Aturan yang ada belum cukup untuk mengendalikan peredaran makanan dan minuman yang menyebabkan obesitas. Bahkan regulasi di kesehatan ini sangat lemah. Perlu dikuatkan masalah gizi ini pada kampanye perilaku dan intervensi kesehatan remaja, anak, orang dewasa, serta ibu hamil," katanya.