Mencegah obesitas bukan hanya bicara soal makanan dan gaya hidup tidak sehat. Bisa jadi penyebab masyarakat obesitas adalah kurangnya 'kepedulian' negara terhadap warganya.
Tetapi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyebut pihaknya justru terus melakukan pemantauan terkait isu obesitas ini. Bahkan, pemerintah juga terus mengupayakan agar angka obesitas bisa mengalami penurunan.
Langkah yang diambil kata dia, salah satunya dengan mengeluarkan berbagai regulasi berkaitan dengan izin edar makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sisi pencegahan bersifat edukasi melalui Inpres no 1/2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)," kata dia, melalui pesan singkat, Senin (26/6).
Kegiatan yang dilakukan dalam Germas ini misalnya, membudayakan makan buah dan sayur, tidak merokok, bahkan mengatur kandungan gula, garam, dan lemak pada makanan. Menurutnya, semua ini diatur dalam Permenkes no 30 tahun 2013.
"Dari situ kami memberlakukan pajak yang lebih tinggi terhadap produk yang mengandung gula, garam, lemak yang tinggi. Dengan harapan semakin mahal ya masyarakat enggan beli," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga mengatur peredaran makanan melalui Peraturan BPOM no 26 tahun 2021. Di dalamnya berisi aturan mengenai informasi nilai gizi pada label pangan olahan.
"Harus dicantumkan dengan harapan ini bisa mengedukasi masyarakat tentang kandungan nutrisi dan besarannya," kata dia.
Aturan-aturan ini memang nyata dan ada. Tapi perjalanannya, mungkin tak 100 persen berhasil lantaran seringkali edukasi masih sangat terbatas.
Sebagai contoh edukasi soal komposisi GGL (gula garam lemak) maksimal dalam satu hari pun juga terkesan diabaikan lantaran dianggap kurang 'kena' ke masyarakat. Edukasinya hanya berlaku pada lapisan masyarakat tertentu, bukan ke semua lapisan masyarakat sampai ke lapisan terbawah.
Obesitas ini memang bukan 100 persen kesalahan satu orang saja. Bukan hanya karena dia mager, bukan karena dia hanya tak kontrol makanan, tapi ada banyak 'tersangka' lain yang berbaris di belakang saat seseorang divonis mengalami obesitas.
Hal ini juga senada dengan pendapat Ahli Epidemiologi dan juga Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra. Dia mengatakan ada banyak faktor risiko penyebab obesitas. Salah satu contohnya adalah minuman dan makanan manis dengan kalori tinggi yang dijual bebas di pasaran.
Dia juga menyinggung kurangnya edukasi kepada masyarakat. Sebenarnya pemerintah juga sudah mengeluarkan mengeluarkan aturan terkait komposisi yang harus dicantumkan di kemasan makanan atau minuman. Tapi kenyataanya tak semua orang paham dengan informasi nilai gizi tersebut dan tak semua orang menaatinya.
Kemudahan untuk mendapatkan aneka makanan dan minuman 'tak sesuai aturan,' keinginan dapat cuan yang tinggi, dan juga keinginan untuk mendapatkan 'kenikmatan hidup' lewat makanan dan minuman, seringkali menjadi faktor pengabaian dan penyebab semakin tingginya obesitas.
Bayangkan, dengan hanya merogoh kocek Rp10 ribu saja bisa menikmati satu gelas cup kopi dengan susu, dengan gula, di siang hari. Enak sih, minum kopi susu segar di siang hari, tapi itu hanya segelas sehari, bagaimana dengan sisa hari lainnya? Apakah sama sekali tak konsumsi gula, lemak, dan garam dalam tiap makanan dan minuman yang disantap seharian?
Harga yang murah ini menjadi bunga gula-gula di tengah masyarakat.
"Nyatanya ya memang murah dan ada dimana-mana," katanya.
Selain itu, komposisi yang dicantumkan ini juga tak ada di semua makanan. Ambil contoh di kopi atau minuman kekinian, tak ada satupun komposisi gizi dan nutrisi yang disampaikan ke masyarakat.
"Less sugar? tanpa gula, apa benar tanpa gula? Karena ada juga kopi-kopi kekinian itu yang sudah diracik sendiri tanpa kita tahu isinya apa," kata dia.
Persoalan obesitas ini memang tak bisa dipukul rata hanya satu pihak yang salah. Ada peran diri sendiri, pedagang makanan dan minuman, hingga pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah.
Memberantas obesitas memang bukan perkara mudah tapi perlu lakukan, agar tidak ada Fajri-Fajri lain di masa depan.
"Aturan yang ada belum cukup untuk mengendalikan peredaran makanan dan minuman yang menyebabkan obesitas. Bahkan regulasi di kesehatan ini sangat lemah. Perlu dikuatkan masalah gizi ini pada kampanye perilaku dan intervensi kesehatan remaja, anak, orang dewasa, serta ibu hamil," katanya.
(chs)