Jakarta, CNN Indonesia --
Korea Selatan (Korsel) bisa membuat siapa saja jatuh cinta berkali-kali, entah karena industri hiburan, industri kosmetik, kebudayaan atau sejarah yang menyertainya.
Korsel juga punya rekam jejak panjang sebelum menjadi pujaan banyak orang. Negara ini pernah diinvasi, dilanda perang, tetapi mereka mampu bangkit dan menjadi seperti sekarang.
CNNIndonesia.com berkesempatan mengunjungi sejumlah situs sejarah Korea Selatan dari pusat administrasi Dinasti Joseon hingga kuil-kuil Budha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa tempat merupakan kunjungan bagian program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea pada 18-24 Mei yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation.
Itu menjadi lokasi lain yang menjadi kunjungan pribadi setelah program berakhir.
Kuil Bulguksa
Saya mengunjungi Kuil Bulguksa pada Kamis (22/5). Tak ada biaya untuk memasuki tempat bersejarah ini.
Namun, pihak pengelola meletakkan kotak amal bagi pengunjung yang ingin menyisihkan sebagian rejekinya untuk pemeliharaan kuil. Dan ini tidak wajib.
Gerbang Kuil Bulguksa menggunakan aksara China. Pemerintah Korsel mempertahankan aksara itu untuk menjaga kemurnian kuil.
Menilik sejarah, Dinasti Silla punya kedekatan dengan dinasti di China. Kedekatan itu berdampak ke budaya hingga aksara.
Kuil ini memiliki gerbang masuk yang disebut Sokgyemun. Di sana juga ada tangga batu menuju kuil. Selain itu Bulguksa punya dua pagoda Seokgatap dan Dabotab.
Bagi saya, Bulguksa sangat luas dan perlu beberapa jam untuk mengelilinginya. Dia area itu, ada beberapa kuil dengan patung Budha yang berbeda-beda. Salah satunya Daeungjeon atau Alua Pencerahan Agung dan di belakanganya terdapat Aula Museol dan Alua Dewi Kwan Im.
Bulguksa adalah kuil Budha utama dari kelompok Jogye yang terletak di Gyeongju, Provinsi Gyeongsan Selatan.
Kuil ini warisan Dinasti Silla. Tempat tersebut dibangun pada 751 Masehi di bawah pemerintahan Gyeongdok dan selesai pada 774. Namun, kuil itu sempat hancur karena invasi Jepang pada 1592-1598.
Kuil lalu dibangun kembali pada 1605 hingga 1805. Pemugaran juga dilakukan pada 1966. Barulah pada 1969, restorasi besar-besaran dilakukan.
Kuil Haedong Yonggungsa
Di Busan, ada kuil yang begitu terkenal karena keindahannya dan lokasinya. Ya, benar Kuil Budha Haedong Yonggungsa.Kuil-kuil di Korsel biasanya terletak di pegunungan, tetapi beda dengan Haedong Yonggungsa.
Kuil ini berada di bibir pantai dan beberapa bangunan jika dilihat dari pantai seperti berdiri di atas bebatuan.Medan di sekitar kuil ini cukup menanjak meski terletak di tepi pantai dan banyak tangga.
Pengunjung akan merasakan betul angin khas laut bahkan saat menginjakkan kaki di halaman parkir. Saat hendak memasuki kuil, pengunjung disambut 12 patung shio di bagian kiri.
Saya tak ingin menyebut sial, tetapi usai melintasi patung shio gerimis dan angin mulai bersaut-sautan. Saya berusaha untuk tak kehilangan momen menikmati dan suasana di Haedong Yonggungsa.
Untuk beberapa detik, saya cuma mematung dan memandang area sekitar, merasakan dingin dan angin yang menyapu kulit.Deburan ombak, angin yang cukup kencang, bersatu menyapa pengunjung. Namun, angin kian kencang.
Handphone saya tiba-tiba beberapa kali berbunyi mendapat pesan peringatan."Peringatan Keamanan Publik. Peringatan angin kencang saat ini berlaku di wilayah Busan. Harap hati-hati ... dan perhatikan keselamatan saat berpartisipasi dalam acara," demikian pesan yang saya terima.
Saya tak bisa berlama-lama di sana karena angin kian kencang dan hujan mulai deras. Bagi saya cuaca di sana saat itu pun begitu dingin meski sudah mengenakan jaket.
Namun, bagi beberapa orang hanya di level "cukup dingin."Kuil Haedong Yonggungsa didirikan biksu yang punya pengaruh di era Dinasti Goryeo, Naong, pada 1376. Karena berada di dekat lait, arti nama kuil ini Naga Timur di Laut.
Dalam kuil terdapat patung raksasa Bodhisattva Haesu Gwanaeum Daebul yang menghadap ke laut. Haedong Yonggungsa juga memiliki aula ibadah utama, dan aula kuil.
Gyeongbokgung Palace
Di Seoul, pengunjung akan menjumpai bangunan yang dikelilingi pagar dan dari luar tampak seperti kerajaan. Itu adalah Istana Gyeongbokgung Palace.
Gyeongbokgung Palace sempat menjadi pusat administrasi era Dinasti Joseon. Di sini pula lah, aksara Korea tercipta dan didistribusikan oleh Raja Sejong. Istana ini sempat hancur karena Perang Imjin pada 1592-1598.
Lalu di bawah pemerintahan Raja Gojong sekitar abad ke-19, pemulihan istana terjadi. Ribuan kamar dibangun kembali. Namun, saat Jepang menginvasi wilayah ini, Gyeongbokgung turut hancur.
Setelah era dinasti berakhir, pemerintah Korsel berusaha melakukan pemugaran dan saat ini Gyeongbokgung menjadi salah satu destinasi wisata sejarah turis.
Istana ini terletak di Distrik Jongno tepat di samping jalan raya, berdekatan dengan alun-alun Gwanghwamun. Di gerbang utama, pengunjung akan disambut penjaga yang mengenakan kostum kerajaan.
Setelah memasuki gerbang utama, terdapat area lapang dan bangunan di sebelah kanan dan kiri. Jika ingin menjelajahi istana lebih dalam, pengunjung harus membeli tiket seharga 3.000 won atau sekitar Rp35.000. Pengunjung juga bisa memasuki istana gratis jika menyewa pakaian tradisional Korea atau Hanbook.
Di samping istana, banyak toko-toko yang menawarkan penyewaan Hanbook. Mereka memasang harga 9.000 won untuk penyewaan satu jam, dan 15.000 won untuk satu hari.
Pengunjung bisa berkeliling istana sekaligus merasakan sensasi hidup di era kerajaan dengan mengenakan Hanbook.Istana ini memiliki empat pintu masuk pintu utama di Gwanghwamun, lalu Yongchumun di sebelah barat, Sinmumun di utara, dan melalui Museum Nasional Rakyat Korea di timur.
Saya berkunjung ke istana ini menggunakan kereta dan turun tepat di Stasiun Gyeongbokgung. Usai turun, saya mengikuti petunjuk yang mengarahkan ke istana. Keluar dari stasiun, saya langsung berada di dalam area istana.
Di tengah terik matahari, saya menuju ke gerbang utama untuk melihat para penjaga istana. Di sini, banyak orang hanya menonton penjaga yang sedang latihan. Beberapa mengambil gambar, yang lain berusaha menutupi kepala karena panas cukup menyengat.
Saya kemudian masuk lagi dan membeli tiket masuk untuk menelusuri lebih dalam istana warisan Joseon ini.Setelah masuk, bangunan model lama dan orang-orang mengenakan Hanbook menjadi pemandangan yang lumrah. Saya lalu menyusuri istana ke Geongjeongjeon atau Diligent of Governance.
Bangunan ini kerap dipakai untuk pertemuan nasional dan acara penting.Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke bilah jalan menuju Paviliun Gyeonghoeru. Bangunan ini sering digunakan untuk jamuan makan kerajaan dan menghibur tamu asing.
Di lokasi ini juga ada Jiphyeonjeon, bangunan yang jadi saksi aksara Hangeul tercipta, Balai Heungbokjen yang mulanya menjadi tempat tinggal beberapa perempuan di istana. Saya tak bisa lama-lama mengelilingi istana karena panas dan area yang begitu luas.
National Folk Museum of Korea
Setelah istirahat dan makan sepotong roti, saya melanjutkan historical visit ini ke Museum Nasional Rakyat Korea atau National Folk Museum of Korea.Jika pengunjung masuk ke museum dari arah istana, maka tidak akan dikenai biaya.
Namun, jika kamu masuk dari gerbang utama museum, akan dikenai tiket masuk sebesar 3.000 won.Tiba di museum, saya disambut resepsionis yang ramah. Dia langsung menawarkan diri jangan sungkan jika perlu bantuan.
Saya lalu mengambil brosur yang ada di meja dekat pusat informasi itu. Di dalam museum, saya disambut ukiran wajah dalam dua bilah kayu. Ini adalah tanda pos penjaga di Kuil Ssanggyesa di Hadong. Menurut kepercayaan penjaga itu sebagai pelindung kuil dan orang-orang yang melaluinya.
Di seberang penjaga kayu itu ada kotak yang berfungsi untuk mencas HP. Pengunjung bisa mengisi daya baterai dan bebas biaya. Kamu baru dikenai biaya jika menyewa power bank.
Di sini, ada tiga hall utama yakni Galeri Pertunjukan Permanen, Galeri Pertunjukan Khusus, dan Museum Anak-anak. Saya memulai dengan Galeri Pertunjukkan Permanen. Tenang dan sunyi begitu kira-kira ketika melangkahkan kaki ke galeri itu.
Seolah tahu setiap manusia punya beban, di ruangan itu saya terpukau dengan alat yang dipakai warga Korea zaman dulu untuk mengangkat beban atau yang disebut Jige."Jige, membawa beban kehidupan," demikian judul di salah satu gambar dalam museum tersebut.
Jige biasa digunakan untuk mengangkut kayu, biji-bijian, hingga rumput. Alat ini juga digunakan secara luas saat perang Korea.Saya lalu berlanjut ke pakaian tradisional Korea yang serba putih lengkap dengan alas kakinya.
Di ruangan tersebut, pakaian anak-anak serta penutup kepala juga diperlihatkan.Saya lalu menuju ke ruangan yang menjelaskan soal empat musim di Korea dan bagaimana warga bertahan hidup. Museum berusaha menggambarkan cara mereka kerja di musim semi, gugur, dingin, dan panas atau saat musim panen dan tanam.
Museum juga memperlihatkan alat-alat kerja yang digunakan alat makan, hingga tempat menyimpan makanan. Tak cuma itu, di sini pengunjung diperlihatkan pula tradisi kelahiran hingga kematian warga di Negeri Ginseng.Mereka juga menunjukkan buku-buku pelajaran sekolah era kerajaan dan panduan pedoman hidup.
Menjelajahi museum ini seperti menelusuri peradaban Korea. Saya merasa lebih dekat dan lebih mengenal warga dari masa ke masa.
Bukchon Traditional Village
Setelah puas menelusuri peradaban Korea, saya lanjut ke Desa Tradisional Bukchon atau Bukchon Traditional Village. Lokasi ini tak jauh dari area Gyeongbokgung Palace dan Museum Folk.
Bukchon village dulunya merupakan tempat tinggal para bangsawan di era Dinasti Joseon. Area itu menarik dikunjungi karena banyak rumah yang mempertahankan gaya tradisionalnya atau disebut Hanok.
Kampung Bukchon memiliki lorong atau gang yang sempit dan menggambarkan pedesaan zaman dulu di Seoul. Rumah-rumah di sana terpelihara dengan baik dan beberapa bahkan menawarkan penginapan.
Desa di Bukchon sama seperti area penduduk lain. Pengunjung yang ingin menelusuri diimbau untuk tak berisik agar penghuni tak terganggu.
Pihak berwenang Bukchon juga membatasi jam kunjung turis yakni dari pukul 10.00 hingga 17.00.Di luar jam ini, turis dilarang masuk bahkan untuk sekadar mengambil foto.
Saya berkunjung lewat pukul 17.00, sehingga tak bisa mengeksplorasi desa tradisional ini lebih lanjut. Meski demikian di sekitarnya, terdapat rumah Hanok dan gang-gang yang tampak bersih.Saya tetap bisa menikmati suasana pedesaan ala kerajaan di Bukchon Traditional Village dan mengambil beberapa foto.
Di luar jalanan menuju desa tradisional, terdapat toko pernak-pernik dan oleh-oleh. Toko parfum dan skin care pun banyak yang menjajakan diri di sekitar kampung tradisional itu.