Di Seoul, pengunjung akan menjumpai bangunan yang dikelilingi pagar dan dari luar tampak seperti kerajaan. Itu adalah Istana Gyeongbokgung Palace.
Gyeongbokgung Palace sempat menjadi pusat administrasi era Dinasti Joseon. Di sini pula lah, aksara Korea tercipta dan didistribusikan oleh Raja Sejong. Istana ini sempat hancur karena Perang Imjin pada 1592-1598.
Lalu di bawah pemerintahan Raja Gojong sekitar abad ke-19, pemulihan istana terjadi. Ribuan kamar dibangun kembali. Namun, saat Jepang menginvasi wilayah ini, Gyeongbokgung turut hancur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah era dinasti berakhir, pemerintah Korsel berusaha melakukan pemugaran dan saat ini Gyeongbokgung menjadi salah satu destinasi wisata sejarah turis.
Istana ini terletak di Distrik Jongno tepat di samping jalan raya, berdekatan dengan alun-alun Gwanghwamun. Di gerbang utama, pengunjung akan disambut penjaga yang mengenakan kostum kerajaan.
Setelah memasuki gerbang utama, terdapat area lapang dan bangunan di sebelah kanan dan kiri. Jika ingin menjelajahi istana lebih dalam, pengunjung harus membeli tiket seharga 3.000 won atau sekitar Rp35.000. Pengunjung juga bisa memasuki istana gratis jika menyewa pakaian tradisional Korea atau Hanbook.
Di samping istana, banyak toko-toko yang menawarkan penyewaan Hanbook. Mereka memasang harga 9.000 won untuk penyewaan satu jam, dan 15.000 won untuk satu hari.
Pengunjung bisa berkeliling istana sekaligus merasakan sensasi hidup di era kerajaan dengan mengenakan Hanbook.Istana ini memiliki empat pintu masuk pintu utama di Gwanghwamun, lalu Yongchumun di sebelah barat, Sinmumun di utara, dan melalui Museum Nasional Rakyat Korea di timur.
Saya berkunjung ke istana ini menggunakan kereta dan turun tepat di Stasiun Gyeongbokgung. Usai turun, saya mengikuti petunjuk yang mengarahkan ke istana. Keluar dari stasiun, saya langsung berada di dalam area istana.
Di tengah terik matahari, saya menuju ke gerbang utama untuk melihat para penjaga istana. Di sini, banyak orang hanya menonton penjaga yang sedang latihan. Beberapa mengambil gambar, yang lain berusaha menutupi kepala karena panas cukup menyengat.
Saya kemudian masuk lagi dan membeli tiket masuk untuk menelusuri lebih dalam istana warisan Joseon ini.Setelah masuk, bangunan model lama dan orang-orang mengenakan Hanbook menjadi pemandangan yang lumrah. Saya lalu menyusuri istana ke Geongjeongjeon atau Diligent of Governance.
Bangunan ini kerap dipakai untuk pertemuan nasional dan acara penting.Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke bilah jalan menuju Paviliun Gyeonghoeru. Bangunan ini sering digunakan untuk jamuan makan kerajaan dan menghibur tamu asing.
Di lokasi ini juga ada Jiphyeonjeon, bangunan yang jadi saksi aksara Hangeul tercipta, Balai Heungbokjen yang mulanya menjadi tempat tinggal beberapa perempuan di istana. Saya tak bisa lama-lama mengelilingi istana karena panas dan area yang begitu luas.
Setelah istirahat dan makan sepotong roti, saya melanjutkan historical visit ini ke Museum Nasional Rakyat Korea atau National Folk Museum of Korea.Jika pengunjung masuk ke museum dari arah istana, maka tidak akan dikenai biaya.
Namun, jika kamu masuk dari gerbang utama museum, akan dikenai tiket masuk sebesar 3.000 won.Tiba di museum, saya disambut resepsionis yang ramah. Dia langsung menawarkan diri jangan sungkan jika perlu bantuan.
Saya lalu mengambil brosur yang ada di meja dekat pusat informasi itu. Di dalam museum, saya disambut ukiran wajah dalam dua bilah kayu. Ini adalah tanda pos penjaga di Kuil Ssanggyesa di Hadong. Menurut kepercayaan penjaga itu sebagai pelindung kuil dan orang-orang yang melaluinya.
Di seberang penjaga kayu itu ada kotak yang berfungsi untuk mencas HP. Pengunjung bisa mengisi daya baterai dan bebas biaya. Kamu baru dikenai biaya jika menyewa power bank.
Di sini, ada tiga hall utama yakni Galeri Pertunjukan Permanen, Galeri Pertunjukan Khusus, dan Museum Anak-anak. Saya memulai dengan Galeri Pertunjukkan Permanen. Tenang dan sunyi begitu kira-kira ketika melangkahkan kaki ke galeri itu.
Seolah tahu setiap manusia punya beban, di ruangan itu saya terpukau dengan alat yang dipakai warga Korea zaman dulu untuk mengangkat beban atau yang disebut Jige."Jige, membawa beban kehidupan," demikian judul di salah satu gambar dalam museum tersebut.
Jige biasa digunakan untuk mengangkut kayu, biji-bijian, hingga rumput. Alat ini juga digunakan secara luas saat perang Korea.Saya lalu berlanjut ke pakaian tradisional Korea yang serba putih lengkap dengan alas kakinya.