Ada masa ketika membaca merupakan kegiatan yang mudah dilakukan. Duduk di kursi, membuka halaman demi halaman, dan membiarkan pikiran tenggelam dalam dunianya. Tapi, ketika kita mulai masuk ke dunia kerja, membaca sering kali menjadi suatu kemewahan.
Di tengah tekanan pekerjaan dan derasnya arus informasi, daya baca di kalangan pekerja mulai tergerus beragam tantangan.
Fenomena berkurangnya waktu dan rendahnya minat baca tidak hanya terjadi di Indonesia. Studi dari University of Florida dan University College London (2025) menganalisis data dari American Time Use Survey antara tahun 2003 hingga 2023 dan menemukan bahwa proporsi orang dewasa yang membaca untuk hiburan harian menurun dari semula 28% menjadi hanya 16% pada 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebabnya beragam, mulai dari kelelahan mental, waktu kerja yang panjang, hingga distraksi terhadap digital yang semakin masif. Ironisnya, sebagian besar pekerja menyadari pentingnya membaca, tapi masih kesulitan untuk menjadikannya prioritas.
Bekerja setiap hari dengan ritme yang cepat dan padat, dimulai dari check email, deretan rapat, laporan yang menumpuk, hingga notifikasi dan panggilan yang tidak berhenti, membuat membaca semakin tersingkirkan.
Terlebih saat menghadapi peak season seperti Quarter III dan IV saat ini. Target Key Performance Indicator (KPI) dan tenggat dalam bekerja seolah membuat waktu luang semakin terbatas.
Tidak jarang, di sela itu perlu jeda untuk membaca atau memberi ruang pikiran untuk sekadar menikmati kopi dan kalimat buku yang menggugah ide baru, atau untuk menyalakan semangat dalam berpikir.
Di tengah dunia kerja, dahaga akan membaca bukan hanya hasrat untuk menambah wawasan saja, melainkan bentuk kebutuhan akan keseimbangan agar pola pikir tidak monoton. Membaca memberi ruang bagi seseorang untuk menenangkan diri, memperluas perspektif, dan menjaga kepekaan terhadap isu atau realitas sosial yang ada di luar ruangan kerja.
Membaca adalah bentuk pengingat bahwa kita bukan hanya mesin produktivitas, tapi juga seorang manusia yang punya rasa ingin tahu.
Namun, pada kenyataannya, setelah setengah hari dihabiskan untuk menatap layar, tidak jarang orang lebih memilih scrolling media sosial. Bisa jadi bukan karena tidak mau membaca, tapi karena tenaga dan fokus sudah terkuras.
"Apakah saya pantas membaca buku, sementara kerjaan masih numpuk?"
Padahal, membaca bukan sebuah pelarian dari tanggung jawab namun hanya jeda sementara. Membaca menjaga kita agar tetap hidup, bukan sekadar bertahan.
Membaca dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap lelahnya kerja dan capeknya mental. Meluangkan waktu untuk membaca bukanlah pemborosan, melainkan upaya menjaga "kewarasan intelektual".
Seperti yang dikatakan John F. Kennedy "leadership and learning are indispensable to each other".
Membaca dan belajar adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kemampuan untuk memimpin. Hal ini tentunya sejalan dalam dunia kerja, belajar untuk bertanggung jawab pada diri
sendiri atau bahkan memimpin orang lain.
Rasanya tidak mungkin membaca satu jam penuh setiap hari, tapi bukan berarti tidak sama sekali.
Kita hanya perlu sedikit life-hack dalam menjalani hidup ini. Misalnya, membaca artikel atau berita saat perjalanan ke kantor bagi yang menggunakan transportasi umum. Atau, mencari buku yang travel size, mendengarkan audiobook sambil berolahraga, atau mengganti 10 menit scroll media sosial dengan dua halaman buku.
Format digital kini juga membantu, seperti tersedianya ebook, kindle, atau portal berita, yang membuat membaca jadi lebih ringan dan fleksibel, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Beberapa orang juga menjadikan baca buku di tengah jeda bekerja sebagai ritual sambil nyemil ubi bakar cilembu atau ngerujak buah di siang hari dan tiga halaman pasca makan siang. Tidak banyak, tapi cukup untuk menyirami dahaga dan haus akan pengetahuan.
Suatu artikel berjudul "The Reading Brain: Executive Function Hard at Work" (Hecker, 2025), menunjukkan bahwa membaca menuntut perhatian penuh dan pemikiran kritis. Kebiasaan ini dapat meningkatkan daya fokus dan kemampuan analitis, yang esensial dalam pengambilan keputusan di lingkungan kerja.
Dalam dunia kerja, membaca tentu dapat memberikan manfaat nyata seperti: pertama, memperkaya kosa kata dan membuat komunikasi professional lebih tajam.
Hal ini dapat membantu dalam dunia kerja sehari-hari dalam penyusunan sebuah laporan, penulisan berita klarifikasi atau press release, bahkan kemampuan presentasi saat rapat manajemen.
Kedua, membuka wawasan baru yang dapat diterapkan dalam strategi contohnya pembuatan inovasi program Environmental, Social, and Governance (ESG) hingga penyusunan dokumen kebijakan.
Ketiga, membantu berpikir reflektif dan tidak hanya sekadar reaktif terhadap tekanan pekerjaan. Dengan kata lain, membaca menjadikan kita tidak hanya pintar, tapi lebih peka dan bijak dalam
mengolah emosi.
Menumbuhkan dan membangkitkan kembali kebiasaan baca di kalangan pekerja dapat dilakukan dengan berbagai cara. Langkah kecil dan nyata, salah satunya dengan membiasakan diri membaca
saat perjalanan, atau 5-10 menit baca setiap jeda istirahat. Tentunya dilakukan secara konsisten.
Perusahaan juga dapat ambil peran dengan menyediakan lounge baca atau sharing session berbagi pengetahuan. Membaca tidak hanya untuk individu, tapi memperkuat dan memperkaya budaya belajar bagi suatu perusahaan.
Pada akhirnya, hiruk pikuk waktu pekerja untuk membaca bukanlah hal yang harus dikorbankan. Membaca menjadi kebutuhan dasar bagi siapapun yang ingin tetap hidup secara intelektual dan emosional.
Membaca di dunia kerja menjadi sebuah cara untuk tetap menyemai pengetahuan, menata arah hidup dalam bekerja, dan menyapa kembali bagian diri yang haus akan makna.
Dahaga akan baca adalah tanda bahwa kita masih ingin bertumbuh dan berkembang, bahkan ketika dunia menuntut kita untuk terus berlari dan bekerja.
(vws)