Jakarta, CNN Indonesia -- Fakta suram tentang Indonesia menggemparkan Venice Film Festival ke-71. Itu terjadi saat
The Look of Silence, film kedua karya Joshua Oppenheimer dipertontonkan pada publik. Film itu merupakan sekuel dari
The Act of Killing, yang mengisahkan sisi lain dari pembantaian tahun 1965, atau kondang disebut G30S.
Sama seperti pendahulunya,
The Look Of Silence masih menceritakan terbunuhnya ratusan ribu masyarakat Indonesia yang dianggap komunis atau simpatisannya. Kalau
The Act of Killing berkisah dari mata Anwar Kongo, salah satu “algojo” di Medan, Sumatera Utara,
The Look of Silence berbicara lewat hidup Adi Rukun.
Adi merupakan pemeriksa mata tradisional yang saudaranya, Ramli, tewas dalam “pembersihan”. Itu salah satu upaya pemerintah membersihkan Tanah Air dari Partai Komunis Indonesia. Dari Oppenheimer, Adi belajar soal pembantaian yang menewaskan saudaranya. Hingga akhirnya, pria 40 tahun itu mempertanyakan kejujuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaannya ironis: mengapa para pembantai masih bisa hidup normal, tanpa rasa bersalah berdampingan dengan keluarga korbannya? Di satu sisi, mereka yang keluarganya menjadi korban memilih melupakan masa lalu. Adi mencoba berontak dari itu, dan memilih menghadapi satu per satu pembunuh kakaknya.
Sama seperti
The Act of Killing yang juga pernah menghebohkan, film itu langsung menghentak publik.
The Look of Silence seakan membuka mata dunia akan adanya goresan hitam dalam sejarah Indonesia. Meski terkesan seperti membuka skandal pembunuhan terbesar, Oppenheimer mengaku punya tujuan mulia.
Seperti diberitakan kantor berita
Reuters, Oppenheimer merasa film-filmnya akan membuat Indonesia lebih bisa melangkah maju dan melupakan luka masa lalu. Namun, ia tahu butuh waktu yang tidak sebentar untuk itu.
“Saya tidak sabar dengan standar dokumenter HAM konvensional, yang memilih mengabaikan kekacauan untuk menunjukkan bahwa kita akan baik-baik saja,” kata Oppenheimer mengungkapkan pada Reuters, Kamis (28/8) lalu. Melalui filmnya, ia ingin berteriak pada dunia, bahwa ada kekacauan yang harus segera dibenahi.
Menurutnya, pembantaian yang terjadi pada 1965 di Indonesia bukan hal sepele yang patut dilupakan begitu saja. “Kekejian yang tidak mendapat hukuman ini semakin lama semakin buruk dan membusuk. Itu menghasilkan kekacauan, horor, dan instabilitas,” ujar Oppenheimer usai pemutaran di Venice Film Festival.
Oppenheimer melihat pengabaian pada narasumbernya sendiri, Adi. Ia menyebutkan, awalnya Adi tak tahu seberapa besar skala pembantaian yang ia hadapi. Oppenheimer lah yang kemudian membeberkan fakta pahit itu padanya. Saat melihat potongan-potongan dokumentasi Oppenheimer, Adi tampak hancur dalam diam.
Matanya nanar, seakan menyimpan kemarahan dan keputusasaan yang tak bisa diungkapkan. Adi kemudian ingin bertemu dengan orang-orang yang menjadi pelaku pembantaian. Oppenheimer menemaninya dan mendokumentasikannya untuk
The Look of Silence. Selain diputar di Venice, film itu juga dijadwalkan ada di Toronto International Film Festival pada 9, 10, dan 14 September mendatang.
“Saya tahu harus ada film yang dibuat setelah
The Act of Killing. Harus ada film lain yang mengeksplorasi kediaman itu, seperti puisi untuk keheningan, dan puisi untuk mengenyahkan trauma atas itu,” ucap Oppenheimer lagi. Dan ia yakin, film itu harus dibuat dengan menonjolkan tokoh seperti Adi.
Usai pembuatan dan peluncuran film, Adi dikabarkan telah pindah. Itu dilakukan atas nama keamanannya.
Sebelum
The Look of Silence, film Oppenheimer juga mengenyak dunia. Oppenheimer melakukan riset selama 2005-2011 untuk membuat
The Act of Killing, atau
Jagal dalam bahasa Indonesia. Film itu bahkan dinominasikan dalam Academy Awards. Sayang,
The Act of Killing tak membawa pulang Piala Oscar karena kalah dari
20 Feet from Stardom.