RESENSI FILM

The Maze Runner: Pertaruhan Optimisme

CNN Indonesia
Rabu, 17 Sep 2014 11:28 WIB
The Maze Runner menonjolkan optimisme. Penonton diajak untuk tak menyerah memupuk harapan, dalam kondisi sesulit apapun.
Salah satu adegan The Maze Runner.
Jakarta, CNN Indonesia -- Thomas (Dylan O’Brien) terbangun dalam sebuah kotak berteralis yang bergerak selayak elevator. Memori yang tak ingat apapun, bahkan namanya sendiri, membuatnya mual. Apalagi ia terdampar di sebuah tanah lapang berselimut rumput hijau, berisi puluhan anak lelaki seumurannya.

Di sana, ia dipanggil Greeny, alias si anak baru yang masih hijau. Dengan segera, Thomas menjadi sorotan. Berbeda dengan anak lain yang penurut, kepalanya dipenuhi rasa ingin tahu. Ia setengah mati penasaran saat tahu tempatnya terdampar, disebut Glade, dikelilingi tebing tinggi menjulang.

Dari kawan-kawan barunya, Alby (Aml Ameen), Newt (Thomas Brodie-Sangster), dan Chuck (Blake Cooper), Thomas tahu tebing itu bukan dinding biasa. Itu bagian luar labirin yang menyesatkan, menghalangi jalan mereka ke manapun. Selama tiga tahun, anak-anak itu terbekap di dalam Glade.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dipimpin Alby, mereka menciptakan tatanan baru. Ada kelompok penjagal, yang mengandalkan otot ketimbang otak. Ada yang bertugas meramu makanan, ada pula yang bercocok tanam. Yang paling menarik di mata Thomas, adalah sang pelari. Tugasnya memetakan labirin dan mencari jalan keluar.

Kehadiran Thomas mengubah segalanya. Seluruh tatanan yang sudah stabil selama tiga tahun itu, mendadak hancur. Thomas nekat masuk ke dalam labirin. Ia mengukir sejarah dengan menjadi orang pertama yang bertahan di sana semalaman. Ia bahkan membunuh salah satu monster: Griever.

Keanehan belum selesai. Tiba-tiba, kotak teralis yang mengirim Thomas muncul lagi, kali ini membawa wanita. Pertama muncul, Teresa (Kaya Scodelario) mengigau nama Thomas. Itu masih menjadi misteri, saat dinding labirin yang biasanya menutup di malam hari, kali ini tetap terbuka.

Monster-monster pun berkeliaran. Thomas disalahkan. Tak mau bertahan dalam kondisi yang tak menentu, ia akhirnya memilih mempertaruhkan optimisme. Membawa sekelompok kawan setia, Thomas mencoba mencari jalan keluar dari labirin. Akankah ia berhasil?

Mengekor

Kisah Thomas dan kawan-kawannya “dibungkus” dalam film The Maze Runner. Hadir di tengah film fiksi fantasi remaja seperti The Hunger Games, garapan sutradara Wes Ball ini secara keseluruhan terkesan mengekor. Ketegangan dan gejolak perlawanan yang dihadirkan sama persis.

Melihat Thomas dan Teresa, seperti menyaksikan Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson). Namun setidaknya, ada unsur kebaruan yang ditampilkan Ball. Ia berani dengan “kejam” menghilangkan seluruh memori pemainnya saat memasuki Glade, kecuali nama mereka.

Meski akhir cerita bisa ditebak sejak awal, Ball masih mampu membangun ketegangan penonton dengan menghadirkan kejutan demi kejutan berbahaya. Film yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya James Dashner ini sukses membuat penonton penasaran hingga akhir.

Apalagi, di akhir cerita Ball memberikan twist menarik yang membuat sirna seluruh dugaan. Caranya memberi sentuhan keberlanjutan dari film pertama ke film selanjutnya juga mengobarkan rasa penasaran yang semakin membara. Sebab, Ball pun belum memberi gambaran konflik secara utuh.

Keberagaman

Untuk ukuran film remaja, banyak nilai positif yang bisa diambil dari The Maze Runner, terlepas dari aksinya yang mendebarkan. Yang paling menonjol adalah soal optimisme. Lewat sosok pelari labirin dan Alby, penonton diajarkan untuk terus memupuk harapan, dalam kondisi sesulit apapun.

Ball juga menawarkan keberagaman. Ia menghadirkan Alby, sesosok kulit hitam, sebagai pemimpin. Itu menandakan, dunia tak lagi mengenal diskriminasi. Ball bahkan menampilkan warna Asia lewat sosok Minho (Ki Hong Lee), ketua kelompok pelari.

Minho digambarkan sebagai orang yang awalnya egois, namun berhati besar untuk memuji keberanian Thomas. Ia bahkan akhirnya menjadi rekan setia, bahu membahu mencari jalan keluar dari Glade. Winston (Alex Flores), lebih berwajah India.

Dengan seluruh karakter itu, penghuni Glade tidak seragam. Berbagai latar belakang hadir, selayaknya dunia remaja masa kini. Dari keberagaman itu, mereka disatukan kesamaan nasib: terdampar di Glade tanpa secuil pun ingatan masa lalu.

Namun, seperti kata Newt pada Thomas, “Siapa kita sebelum di Glade telah tiada. Inilah kita sekarang.”

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER