MIGRASI KE MUSIK INDIE

Di Balik Tirai Industri Musik Indie

CNN Indonesia
Jumat, 26 Sep 2014 14:10 WIB
Kebanyakan musisi indie tidak menghamba pada popularitas, jujur dan tanpa intrik. Mereka tak ingin menjadi bintang panggung. Yang penting, bisa bermusik.
Ilustrasi (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Popularitas Payung Teduh dan White Shoes and the Couple Company membuka mata Indonesia, musik indie tak semudah itu mati. Mereka bukan lagi anak bawang yang teriak-teriak sendiri, hanya bisa berkreasi tanpa ada yang peduli. Musisi indie pun bermunculan, bak jamur di musim hujan.
 
David Karto, pendiri label indie terbesar di Indonesia, Demajors menuturkan, dalam sebulan ia bisa merilis 12 sampai 15 album dari musisi yang berbeda. Itu belum termasuk antrean panjang di pintunya. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan, musisi yang mengantre albumnya diterbitkan.
 
Gegap gempita itu, tidak jauh berbeda dengan yang ada di label mayor. Sama seperti di label lain, tak semua pengantre diterima. David punya standar khusus. Hanya saja, ia tidak memasukkan selera pasar sebagai salah satu pertimbangannya. Itu yang membedakannya dengan label mayor.
 
"Kita sudah tahu bunyinya seperti apa, rasanya seperti apa. Kita punya karakter sendiri. Standarnya sulit, harus didengarkan dan dirasakan," katanya saat ditemui di Kemang, di Jakarta, Rabu (24/9).
 
David melanjutkan, "Patokan musik sekarang, Geisha, Wali, Ungu, itu sudah pasti enggak kita. Kebalikannya saja, begitu." Semakin terasa mainstream, semakin tidak mungkin diterima Demajors.
 
Perpustakaan musik.
 
Namun untuk band-band yang sudah di bawah labelnya, David tidak pernah membatasi dalam bermusik. Ia sama sekali tidak ikut proses kreatif. David dan tim hanya mengatur jadwal untuk promosi. Soal musik, ia membebaskan setiap artisnya. Mereka boleh bersikap aneh sekalipun.
 
"Kalau mayor label ketat sekali. Diarahkan, harus begini begitu. Kita justru mau tangkap hal paling aneh dari sisi kreatifnya," katanya. Misalnya, ada yang hanya membutuhkan bass semata. "Tanpa vokal, dia cuma nge-bass. Tapi bagus banget, dia seperti berdialog dengan bass-nya," lanjut David.
 
Cara bermusik itu, menurut David, jujur dan tanpa intrik. Kebanyakan musisi indie tidak menghamba pada popularitas. Mereka tak ingin menjadi bintang panggung. Yang penting, bisa bermusik.
 
Musik-musik yang jujur, tanpa tendensi, lebih terdengar indah di telinga David. Sebagai label indie, ia ingin menggali dan menangkap semua kreativitas itu. Cita-cita sederhana, membuat perpustakaan musik Indonesia. Ia ingin, seluruh kreasi musik yang pernah dihasilkan anak bangsa terekam.
 
Menurutnya, itu penting untuk masa depan musik Indonesia. "Tahun 2020, tahun 2025 nanti, kalau enggak punya musik negara ini mau membanggakan apa lagi? Pemerintahnya, korupsi," katanya.
 
Perpustakaan musik yang dimaksud, adalah kreasi-kreasi yang pernah diterima Demajors. Mulai awal berdiri tahun 2010, sampai kapanpun nanti. Label mayor tidak bisa menangkap itu. Sebab, yang mereka dokumentasikan adalah musik-musik yang seragam: sesuai selera pasar.
 
Distribusi dan promosi.
 
Tugas David sebagai label indie bukan hanya menyortir musik-musik yang masuk. Ia juga mendorong artisnya untuk memproduksi album, sekaligus mempromosikannya. Target promosi biasanya berjalan selama enam bulan. Tiga bulan untuk lagu pertama, dan tiga bulan untuk lagu kedua.
 
Jika belum diterima publik, ia menambah lagu ketiga dan keempat. Lagu-lagu itu dikirim ke media massa, juga dipasang di situs resminya. Ada pula yang dijual secara daring juga iTunes.
 
Promosi melalui internet, diakui David, sangat membantu. Itu yang membuat White Shoes and the Couple Company dikenal luas, bahkan digandeng label Amerika. Tentu, untuk diingat butuh karakter khusus. Menurutnya, White Shoes and the Couple Company memenuhi itu, sehingga diminati dunia.
 
"Di luar pendengarnya bukan hanya orang Indonesia. Banyak juga orang asli sana," ucapnya.
 
Sementara itu, penjualan fisik biasanya memercayakan pada komunitas-komunitas tertentu. Misalnya di gerai busana anak muda, atau toko-toko kaset tertentu.
 
Soal promosi, kata David, ia tak jauh berbeda dengan label mayor. Musisi indie biasanya berjualan lewat cenderamata, album, dan pentas.
 
"Pembagiannya sangat terbuka. Kita enggak punya ikatan eksklusif ya. Normal saja seperti musisi lain, 70-30 atau 80-20, tergantung kesepakatan dengan musisinya," ujarnya menerangkan.



ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER