Jakarta, CNN Indonesia -- Joshua Oppenheimer benar-benar punya nyali saat memfilmkan pembantaian 1965 di Indonesia. Ia tidak mengambil sudut pandang yang sama seperti film G30S yang dulu wajib diputar di layar kaca.
Alih-alih bercerita soal kudeta, Oppenheimer dengan gamblang menyajikan algojo pencabut nyawa. Lewat sosok Anwar Kongo, mantan calo tiket di Medan, Oppenheimer menguak fakta mengejutkan.
Anwar dan kawan-kawannya 'naik pangkat' setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding menjadi dalang atas pembunuhan tujuh jenderal. Mereka bertugas memburu para penganut komunisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ribuan orang tewas di tangan Anwar. Atas nama negara, ia membantai mereka yang disebut komunis. Anwar menutup mata atas kenyataan bahwa sebenarnya mayoritas mereka tak berdosa.
Anwar membawa kamera Oppenheimer menyusuri tempat-tempat ia melenyapkan PKI. Cara membunuhnya pun dipraktekkan. Ironisnya,setelah itu ia dielukan sebagai pahlawan negara.
Saat diminta membuat film oleh Oppenheimer, Anwar antusias. Ia bangga karena bisa membunuh tanpa dihukum. Tapi saat mulai merekonstruksi penjagalannya, ia pun gelisah. Anwar pun menyesal.
Baru saat disorot kamera, sosok yang sekarang menjadi anggota Pemuda Pancasila itu sadar perbuatannya melanggar hak asasi manusia. Ia bisa merasakan apa yang korbannya rasakan.
Oppenheimer memotret itu tidak secara instan. Ia mengumpulkan data sejak tahun 2005 hingga 2011. Sutradara berdarah Amerika-Inggris itu memutarbalikkan indoktrinasi Orde Baru.
Film itu diberi judul
The Act of Killing.
Jagal, dalam bahasa Indonesia. Film itu diakui Academy Awards dan nyaris menyabet Piala Oscar. Sayang,
20 Feet From Stardom mengalahkannya.
Meski begitu, Oppenheimer seakan tak pernah lelah meluruskan sejarah. Ia membuat film kedua,
Look of Silence. Dalam bahasa Indonesia:
Senyap. Kisahnya masih soal peristiwa 30 September 1965.
Kali ini kamera Oppenheimer menyorot korban pembantaian. Sosok utamanya bernama Adi Rukun, yang salah satu saudaranya dibunuh karena dianggap terlibat PKI. Tapi, ia tak bisa apa-apa.
Adi dan keluarganya hanya diam karena pemerintah menuturkan sejarah yang berbeda di sekolah-sekolah. Kebenaran dibelokkan. Dengan kamera Oppenheimer, barulah Adi berani menggugat.
Penuh keberanian ia mendatangi pembunuh saudaranya. Adi seakan menjadi simbol para korban PKI yang selama ini dibelenggu senyap. "Lewat film
Senyap, kami tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik kebohongan mereka. Cepat atau lambat, tapi pasti, kebohongan akan terungkap," kata Adi.
Dipuji dunia, dilarang di IndonesiaFilm
The Look of Silence diputar di Venice International Film Festival ke-71 di Italia, dan memenangi Grand Jury Prize.
Dunia internasional memang memuji film-film Oppenheimer yang berani mengungkap skandal pembantaian di Indonesia. Doug Blush, produser kondang asal Amerika, pun menyatakan pujiannya.
Blush sendiri pernah mengalahkan Oppenheimer dalam ajang Oscar. Film yang diproduserinya,
20 Feet From Stardom, membuat
The Act of Killing keok.
"Ya, saya kenal Joshua. Saya belum menonton film keduanya, tapi saya sangat antusias dan tak sabar," tuturnya pada
CNN Indonesia saat berkunjung ke Jakarta, beberapa waktu lalu.
Blush menganggap, film Oppenheimer berani. Ia bukan hanya memutarbalikkan sejarah dengan mengangkat fakta yang orisinal, tetapi juga menggunakan tenaga kerja lokal.
"Saya rasa, banyak hal penting yang dia sampaikan dalam filmnya. Apalagi film itu tentang Indonesia, dan melibatkan tenaga Indonesia. Pasti sangat berseni. Saya tahu film itu akan sangat berat, sulit, tetapi juga cantik," ujarnya lagi, melanjutkan.
Film kedua Oppenheimer memang melibatkan sineas Indonesia. Namun, sineas itu memilih nama anonim. Ia enggan disebut namanya. Sebab, meski mendapat pujian di mana-mana, film Oppenheimer belum menjadi tuan rumah di negeri asalnya sendiri.
The Act of Killing dan
The Look of Silence, dilarang edar di Indonesia. Kalaupun diputar, itu hanya untuk kalangan terbatas. Padahal, ia bisa menjadi pengingat coreng-moreng sejarah negeri ini.