Jakarta, CNN Indonesia --
"Tidak ada tim yang dapat diciptakan dalam satu malam," kata pelatih U-19 Indra Sjafir yang diperankan oleh Mathias Muchus.
Memang benar petuah pelatih Indra. Tidak ada tim hebat yang dapat diciptakan dalam satu malam. Kemenangan Tim Nasional Junior Sepakbola Indonesia U 19 tahun lalu pada piala AFF 2013 itu bukanlah hasil pekerjaan satu malam saja. Perlu perjalanan yang panjang sampai sebuah prestasi besar tertoreh.
Kisah perjuangan Tim Nasional U 19 tersebut telah menginspirasi sineas film Andibachtiar Yusuf, produser Putut Widjanarko, serta Avesian Soebli untuk mengangkat cerita penuh perjuangan ini ke dalam film berjudul Garuda 19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bergabung menjadi tim nasional adalah impian seluruh remaja Indonesia yang gemar bermain sepak bola. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah-daerah pelosok. Entah dapat terwujud atau tidak, anak-anak pencinta bola itu terus bermimpi. Meski impian itu terasa muskil tercapai karena jarangnya mereka dilongok para pelatih dari pusat.
Tiga remaja itu bernama Yazid asal Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara), Sahrul dari Ngawi (Jawa Timur), dan Yabes anak Alor (Nusa Tenggara Timur). Film ini ingin menunjukkan bagaimana cita-cita luhur mereka dapat memberi Tim Garuda sebuah piala kemenangan.
"Saya makan jagung dan ubi tidak apa-apa asalkan saya main bola," kata Yabes berdialog dengan ibunya.
Baik Yabes, Yazid, maupun Sahrul berasal dari keluarga yang tidak berlimpah kekayaan dan harus bekerja lebih untuk membeli sepatu.
Meski berbeda latar belakang, mereka punya mimpi yang sama. Harapan itu akhirnya muncul saat pelatih timnas Indra Sjafir berkunjung ke daerah untuk mencari para mutiara terpendam tersebut.
Doa Yabes, Yazid, dan Sahrul akhirnya terwujud saat mereka dipanggil ke Yogyakarta untuk menjalani tahap seleksi dan berlatih sebagai tim nasional junior Indonesia. Namun ternyata bergabung ke dalam tim nasional tidak segemilang yang mereka bayangkan.
Jauh dari kemewahan yang didapatkan para pesepak bola klub-klub internasional layaknya Real Madrid dan Barcelona. Ketidakadilan bertubi-tubi mereka dapatkan dari pusat. Dari digusur saat berlatih di stadion, berpindah hotel karena belum dibayar pusat, sampai kelaparan karena tidak mendapatkan makan.
"Bapak tidak ingin berikan hotel bagus kepada saya tidak apa-apa, tidak berikan saya makanan enak tidak apa-apa, tetapi nasi kering pun tidak kalian beri. Keterlaluan, Bapak!" keluh Indra dalam film ini menggambarkan betapa buruk perlakuan yang didapat para anak muda tersebut.
Walaupun sama-sama menyandang lambang Garuda di dada, ternyata timnas junior dan senior tidak mendapatkan perlakuan serupa. Namun, sebagai pelatih Indra tidak menyerah begitu saja. Dia tetap rela berjuang demi negara.
Ia bahkan rela menggunakan tabungan pribadi untuk membiayai makan timnya. "Jangan terlalu berhitung kepada negara," ujarnya.
Film ini juga menampilkan ragam budaya dan bahasa yang ada di Indonesia. Dari proses pelepasan Yabes sebagai anak Alor dengan upacara adat yang dilepas oleh warga kampungnya, sampai Yazid sebagai warga Konawe Selatan yang sering berada di lautan.
Tidak hanya itu, Garuda 19 juga menunjukkan secara terbuka adanya keberagaman agama di Indonesia dan bagaimana toleransi ini berjalan di antara anggota tim.
Di balik banyaknya sponsor di dalam filmnya, Andibachtiar berhasil memperlihatkan perjuangan Indra dan timnya. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut mereka tetap bersatu demi tujuan yang sama, yaitu berbakti kepada negeri dan membuat bangga Garuda.