FILM PERJUANGAN

Lima Film Perjuangan Paling Fenomenal

CNN Indonesia
Rabu, 15 Okt 2014 15:07 WIB
Pembuatan film perjuangan memang tak mudah.  Tak heran dibanding dengan genre film lain, film jenis ini paling sedikit diproduksi.
Atiqah Hasiholan di film perjuangan 3 Nafas Likas. (dok. DetikFoto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sulitnya pembuatan film perjuangan — memang benar-benar membutuhkan perjuangan. Tak heran dibanding dengan genre film lain, film jenis ini paling sedikit diproduksi. Berikut lima film perjuangan yang pernah jadi pembicaraan masyarakat Indonesia.

1. Janur Kuning (1979)

Alam Rengage Surawidjaya jadi sutradra film yang dibintangi Kaharuddin Syah, Deddy Sutomo, Dicky Zulkarnain ini. Ini adalah film drama perjuangan yang menceritakan  perebutan kembali kemerdekaan oleh pasukan sekutu saat episode enam jam di Yogya. Tokoh nyata yang diangkat diantararanya Soeharto, Jenderal Sudirman dan Amir Murtono.  janur kuning adalah lambang yang dipakai para pejuang di lengan sebagai lambang perlawanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak bulan September 1998, pasca jatuhnya Soeharto film ini, bersama dengan film Serangan Fajar dan Pengkhianatan G 30 S PKI  tak lagi menjadi film wajib tonton. Karena dianggap sebagai film propaganda yang mengkultuskan Soeharto seolah-olah sebagai pahlawan paling berjasa.  

2. November 1828 (1979)

Film yang disutradarai oleh maestro perfilman Indonesia, Teguh Karya ini dibintangi oleh sejumlah aktor watak ternama saat itu. Mulai dari Slamet Rahardjo, Maruli Sitompul, Yenni Rahman, El Manik, dan Sunarti Suwandhi. Film drama historikal ini mengambil potongan kisah dari masa perjuangan Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirdjo dua pahlawan nasional.

Berkisah tentang sebuah desa yang menolak diduduki oleh Belanda, tak hanya menggugah rasa nasionalisme, film ini juga menyoal soal identitas budaya setempat. Dengan biaya mencapai Rp 240 juta, angka yang sangat besar pada masa itu untuk sebuah produksi film film ini dinilai sukses, bahkan sampai meraih enam Piala Citra, penghargaan perfilman tertinggi di tahun 1980-an.

3. Naga Bonar (1987)

Jika ingin menonton film perjuangan dalam kacamata humor, Naga Bonar lah filmnya. Film yang disutradarai oleh MT Risyaf dengan naskah yang dibuat oleh Asrul Sani ini, mengambil setting Sumatera Utara. Kisahnya tentang Naga Bonar yang diperankan Deddy Mizwar, pencopet yang terpaksa menjadi jenderal dalam perang kemerdekaan.

Lucunya dengan kelihaiannya Naga Bonar malah berhasil mengelabui Belanda dan merebut senjata. Ada sedikit bumbu percintaan di film ini tentan bagaimana Naga Bonar berusaha merayu Kirana sang kekasih hatinya.  Film ini sempat diajukan menjadi film berbahasa asing terbaik pada Academy Awards ke 60, namun akhirnya tidak jadi dinominasikan.

4. Tjoet Nja’ Dhien (1988)

Mengambil pengalaman satu sosok pahlawan perempuan ternama di Indonesia film Tjoet Nja’Dhien juga dinilai sukses. Disutradari oleh Eros Djarot  dan Alwin Abdullah film ini juga diperankan oleh sejumlah aktor kawakan saat itu. Mulai dari Christine Hakim sebagai Tjoet Nja’Dhien, Slamet Rahardjo sebagai Tengku Umar, Piet Burnama, dan Rudy Wowoor.

Mengambil satu episode perjuangan sang pahlawan, pada Festival Film Indonesia 1988, film ini meraih Piala Citra sebagai film terbaik. Tak hanya berjaya di dalam negeri, film ini juga sempat diajukan sebagai nominasi film berbahasa asing terbaik pada Academy Awards ke-62 di tahun 1990 yang sayangnya tidak lolos. Film ini jadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes pada tahun 1989.

5. Trilogi Merdeka (2009-2011)

Terdiri dari tiga film, yakni Merah Putih, Darah Garuda dan Hati Merdeka, merupakan karya sutradara Yadi Sugandi. Film ini diproduseri secara patungan antara Conor Ally dan  Media Desa Indonesia salah satu perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo, menggaet aktor-aktor ternama saat itu. Mulai dari Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathriya, Zumi Zola dan Rahayu Saraswati.

Berbiaya Rp 20 miliar tiap film ini tercatat sebagai film yang  berbiaya terbesar. Film ini mengambil genre fiksi historis, dengan setting perjuangan tahun 1947, saat Agresi Militer Belanda I di ibukota Republik Indonesia yang saat itu berada di Yogyakarta. Ceritanya seputar persahabatan beberapa pria yang berteman sejak sekolah militer di Semarang hingga akhirnya mereka melakukan perang gerilya dari pedalaman hutan melawan Belanda.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER