Jakarta, CNN Indonesia --
“Copras-capres, copras-capres. Saya enggak mikir.”Jawaban itu bukan terlontar dari Joko Widodo lantaran dirinya digadang-gadang menjadi calon presiden Indonesia. Melainkan, keluar dari mulut Ben Joshua, aktor yang banyak dikenal lewat FTV.
Itu merupakan sekelumit adegan dalam film
Jokowi Adalah Kita yang diperankan Ben. Seperti sebelumnya,
Jokowi, film itu masih digarap rumah produksi yang sama, K2K Pictures.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, produser KK Dheeraj dan sutradara Ronny Mepet menampik film
Jokowi Adalah Kita merupakan sekuel
Jokowi. Ceritanya berbeda, pun para pemainnya. Meski, masih ada penggal-penggalan masa anak-anak Jokowi dari film pertama yang dimasukkan ke film kedua.
Pada CNN Indonesia Ronny menuturkan,
Jokowi Adalah Kita mengambil masa-masa mantan Walikota Surakarta itu saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di akhir film, Jokowi menjadi presiden.
“Ceritanya dari kejadian nyata. Secara riil, orang tahu Kartu Jakarta Sehat itu ada. Bagaimana waduk menjadi taman kota, juga tahu. Tapi ada rekayasa supaya enggak kayak film dokumenter,” ujar Ronny yang ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (1/9) lalu.
Ia mengaku menerapkan beberapa dramatisasi agar cerita filmnya lebih kuat. Ronny juga memasukkan unsur humanisme Jokowi. Sisi romantismenya saat bersama istri, juga dimunculkan.
Yang tidak ada dalam film justru unsur politik. Baik Ronny maupun KK tidak punya keinginan memasukkan lika-liku politik Jokowi menjadi presiden. Konflik dengan Prabowo Subianto, rivalnya saat masih menjadi calon presiden, juga permasalahan di Mahkamah Konstitusi, tidak terekam.
“Enggak ada, ini sisi humanisnya. Tidak ada politik dan kaitan lain,” kata KK tegas. Ronny menambahkan, “Lebih banyak warga protes, Konflik pilpres enggak ada. Kita enggak mau, ribet.”
Keduanya menepati janji. Saat nobar film Jokowi Adalah Kita bersama Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP) di Epicentrum, Kamis (16/10) adegan politik memang tak ada di film itu.
Jokowi Adalah Kita lebih banyak menampilkan keseharian Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta maupun suami Iriana. Konflik pilpres hanya diambil dari tegangnya Jokowi menanti pengumuman.
“Porsinya, perjalanan blusukan 40 persen. Hubungan dengan keluarga, istri, anak 30 persen. Sisanya di kantor. Secara keseluruhan, 60 persen
true story,” kata Ronny menerangkan, Kamis (11/9) lalu.
Ronny optimistis filmnya akan ditonton banyak orang. Sebab, ia punya momen tepat untuk meluncurkannya.
Jokowi Adalah Kita akan ada di bioskop Indonesia, 20 November 2014. Itu tidak jauh dari gegap-gempita pelantikan presiden, sebulan sebelumnya.
“Saya lihat ada timing. Beban memang ada, tapi
timing-nya juga ada,” ucap Ronny.
Tantangan syutingDemi mengejar itu, ia mempersingkat waktu syuting. Menurut skenario, seharusnya syuting berlangsung sekitar 15 hari. Namun karena 15 persen mengambil adegan dari film Jokowi, proses syuting pun hanya perlu 10 hari. Beberapa lokasi nyata, tapi beberapa lagi diatur sedemikian rupa.
Di lokasi-lokasi yang memang sungguh ada, diakui Ronny, syutingnya lebih susah. Sebab, lokasi itu dipenuhi masyarakat yang begitu padat. Mereka kadang membantu juga sebagai figuran.
“Paling susah di perkampungan kumuh Luar Batang. Ramai sekali. Waktu tahu kita lagi garap film tentang Jokowi, mereka ikut menyaksikan,” ujar Ronny bercerita. Syuting di Pasar Tanah Abang, lanjutnya, juga menantang karena harus bertemu pedagang yang pernah protes pada Jokowi.
Beberapa lokasi tidak dijadikan latar sungguhan dalam film. Kantor Jokowi di Balai Kota misalnya, diambil dari Museum Mandiri di kawasan Kota Tua. Rumah dinas Jokowi di Menteng pun direkayasa. Begitu pula dengan tempat pertemuan Jokowi dengan Megawati saat dipinang menjadi capres.
Selain masalah lokasi,
Jokowi Adalah Kita juga punya kesulitan di pemain. Pemeran utamanya, Ben Joshua dan Sylvia Fully, tidak punya kemiripan fisik dengan Jokowi maupun Iriana. Ben bahkan bukan orang Jawa. Padahal, Jokowi terkenal dengan dialek Jawa yang kental.
Menurut Ronny, itu bukan persoalan pelik. “Kalau bisa, berarti sukses. Reza Rahadian juga enggak mirip Habibie. Tapi ngomongnya, cara jalannya, Habibie banget,” ujarnya mencontohkan.
Itu yang berusaha diwujudkan Ben. Dari pelatih akting Susilo Badar yang juga pernah terlibat dalam film sebagai ayah Jokowi, ia belajar dialek Jawa. Tiap hari, ia praktikkan itu berbicara di rumah.
Soal fisik, ia menurunkan berat badan sampai sekitar lima kilogram. Bintang film
Dealova itu juga sedikit menghitamkan kulit. Ia pun banyak belajar gesture Jokowi lewat media, termasuk YouTube.
Di film, Ben terlihat betul mencoba meniru Jokowi. Ia tertawa, berbicara, dan memainkan tangan seperti orang nomor satu di Indonesia itu. Ben mengaku puas melihat aktingnya. Apalagi, ia menerima beberapa komentar positif soal gesture-nya yang sudah mirip Jokowi.
“Hasil kerja keras kita terbayar. Sudah berusaha kurus. Gayanya beliau itu juga, senyum, gerakan bahunya, tangannya,” ucap Ben menyebutkan. Sedang Sylvia, harus menaikkan bobot lima kilogram.
Bintang
Perahu Kertas itu juga riset soal Iriana dari media, buku, dan orang-orang dekatnya.
Tak bertemu JokowiDisayangkan, para pemain tidak sempat bertemu dan riset langsung kepada Jokowi. Namun, baik Ronny maupun Ben merasa tak masalah karena memaklumi kesibukan presiden baru Indonesia itu.
Yang penting, KK mengaku sudah izin untuk membuat film tentang Jokowi. Dikatakan KK, Senin (1/9), izin disampaikan melalui Ketua Bara JP, Sihol Manulang. Kala itu, Jokowi menjawab dengan senyum.
“Beliau senyum-senyum. Saya menafsirkan itu persetujuan dan dukungan. Saya mengklaim itu adalah dukungan,” ucapnya. Pengamat politik Bonny Hargens pun menyampaikan hal serupa.
Meski begitu, KK menegaskan pihaknya akan tetap mengundang Jokowi untuk acara nobar maupun premiere yang diselenggarakan nanti. Seluruh pemain dan kru berharap Jokowi bisa hadir.
“Mudah-mudahan film ini bisa diterima. Pak Jokowi bisa datang ke premiere-nya dan kasih komentar,” ujar Ben.
Film lainBerbeda dengan Bara JP dan rumah produksi K2K Pictures yang bersemangat memfilmkan Jokowi, sutradara Nia Dinata memilih tidak mempersembahkan apa-apa untuk presiden yang didukungnya. Diwawancara CNN Indonesia, Rabu (10/9) ia mengaku dukungannya cukup saat masa pilpres.
“Saya enggak niat bikin apa-apa sekarang, selain kembali bekerja, menjadi
good citizen, menyumbangkan karya saya,” ucapnya. Menurutnya, ini bukan saat tepat membuat film Jokowi.
Seharusnya, kata Nia, membuat film tentang tokoh ternama dilakukan nanti setelah sosok itu tiada. “Bisa saja waktu dia masih hidup, seperti Nixon. Tapi kan sudah enggak
in power,” tuturnya.
Membuat film saat tokoh itu masih berkuasa, menurut Nia sama saja seperti penjilat.
Ia sendiri punya sebuah film dokumenter yang sedikit mencuplik Jokowi. Judulnya
Nyalon, mengisahlah satir kehidupan nyata saat sebuah pesta rakyat terjadi di Ibu Kota.
“Tapi
it’s not about him. Kebetulan saja akhirnya dia jadi presiden. Dia pun muncul terakhir, dan itu diambil dari
news. It’s about the people,” ucap sutradara Arisan itu menegaskan.
Kalaupun tiba-tiba Nia ingin membuat film bertema pilpres atau Jokowi, ia justru ingin menampilkan konflik di MK. Kebetulan, selama konflik lalu ia sangat mengikuti, bahkan mendokumentasikannya.
“Tapi itu pun bukan untuk Jokowi, melainkan masyarakat Indonesia. Supaya bisa dilihat, mahkamah tertinggi dimainkan seperti itu. Film kan cermin kondisi sosial politik masa itu.
I have so many footages tentang MK,” katanya lagi, dengan semangat kreasi menyala-nyala.