Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak Taylor Swift mencabut musiknya dan diikuti musisi lain, Spotify seperti jadi musuh bersama. Layanan
streaming musik itu dianggap merusak nilai seni dari sebuah karya musik.
Apa sebenarnya Spotify?
Secara konsep, Spotify memungkinkan penggunanya mengakses lagu-lagu secara gratis maupun berbayar. Layanan itu menyediakan berbagai lagu dari label rekaman dunia, seperti Sony, EMI, Warner Music, dan Universal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musik dapat dicari dengan mesin pencarian yang memasukkan nama artis, album, genre, daftar lagu, maupun label rekaman.
Bila pengguna bersedia membayar, maka ia tidak akan melihat iklan serta dapat mengunduh musik sehingga bisa didengarkan secara
offline.
Spotify berasal dari Swedia dan dirilis pada Oktober 2008. Layanan itu dikembangkan sejak 2006 oleh Spotify AB di Stockholm, Swedia. Perusahaan itu didirikan Daniel Ek dan Martin Lorentzon.
Sejak Desember 2013, Spotify tersedia di Android, Blackberry, iOS, Linux, Microsoft, dan lainnya. Layanan itu muncul di Amerika Serikat sekitar tiga tahun lalu.
Sejauh ini, Spotify mengklaim telah mengumpulkan 10 juta
subscribers dari seluruh dunia yang mau membayar. Dengan tawaran akses ke jutaan lagu, pelanggan cukup membayar US$5 (sekitar Rp 60 ribu) hingga US$ 10 (sekitar Rp 121 ribu) per bulan.
Bisa juga gratis, tetapi dengan tampilan iklan.
Perusahaan yang dijalankan secara privat itu punya jumlah pengguna yang naik dua kali lipat sejak 2012 lalu. Saat itu, ada lima juta pelanggan berbayar, dengan total 20 juta pengguna aktif.
Itu berarti, kini Spotify telah memiliki 40 juta pengguna secara keseluruhan. Berdasarkan data Spotify per November 2014, saat ini penggunanya telah mencapai lebih dari 50 juta secara global.
Tujuan SpotifyPendiri Spotify mengembangkan layanan itu karena menganggap streaming adalah penyelamat dunia musik hari ini. Sebab berdasarkan data, penjualan CD dan unduhan lagu menurun drastis. Spotify juga diklaim secagai salah satu cara melawan pembajakan.
Berdasarkan data Nielsen SoundScan, untuk pertama kalinya tahun lalu penjualan unduhan lagu jatuh 2,1 persen di seluruh dunia.
Kuarter pertama tahun ini, unduhan di Amerika Serikat juga jatuh 13,3 persen, bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Sementara pada 2013, layanan streaming menghasilkan uang senilai US$1,1 miliar (sekitar Rp 13,3 triliun) untuk dunia musik.
Namun ternyata, banyak musisi yang protes karena penghasilan dari layanan tersebut tidak sebesar royalti yang didapat dari penjualan album fisik dan unduhan lagu.
Spotify hadir menjawab tantangan tersebut. Saat ini, Spotify telah dinilai lebih dari US$ 4 miliar (sekitar Rp 48 triliun) oleh para investornya. Meski begitu, para pelaku bisnis musik dan media tengah mempertanyakan kemampuan Spotify melebarkan sayapnya. Apalagi, dengan biaya yang hanya US$ 10 yang dipatok oleh Spotify kepada para pengguna.
Pertanyaan lainnya, adalah apakah Spotify bisa menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan laporan keuangan terbaru, pada 2012, Spotify telah kehilangan uang sebesar US$ 78 juta (sekitar Rp 944 miliar) dengan keuntungan US$ 578 juta (sekitar Rp 7 triliun).
Belum ada di IndonesiaPada April 2013, Spotify merambah pasar Asia untuk pertama kalinya. Perusahaan ini merilis layanannya di Hong Kong, Malaysia, dan Singapura. Spotify mengaku tidak ingin buru-buru mengembangkan sayap.
Sejauh ini, Spotify hanya ada di 57 negara.
Sampai kini, ia baru menambah dua pasar baru di Asia, yaitu Taiwan dan Filipina. Berbeda dengan Spotify, saingannya, Deezer dapat diakses di 182 negara di seluruh dunia.
Tidak adanya Spotify di Indonesia memancing pertanyaan. Padahal, pasar Indonesia merupakan pasar yang snagat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang.
Muncul anggapan bahwa Spotify merasa penduduk Indonesia belum siap menerima produknya karena terbiasa mendapatkan lagu gratis. Belum lagi, isu pembajakan musik yang sangat kental di negeri ini.