KASUS SELEBRITI

Kasus Jessica, Pembatalan Perkawinan vs Perceraian

CNN Indonesia
Rabu, 26 Nov 2014 17:05 WIB
Pembatalan perkawinan yang prosesnya sedang dilakoni Jessa Iskandar, diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apa bedanya dengan perceraian?
Ilustrasi buku pernikahan (CNN Indonesia/Utami Widowati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Istilah pembatalan perkawinan mulai menyeruak di tengah hukum perkawinan dan perceraian di Indonesia. Aktris Asmirandah pembawa 'virus'-nya. Pembatalan perkawinan menjadi populer karena kasusnya dengan Jonas Rivanno, Desember lalu.

Kini, giliran Jessica Iskandar yang jadi subjek. Suaminya yang konon merupakan keturunan bangsawan Jerman, Ludwig Franz Willibald, menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 13 Oktober lalu. Ia merasa tak menikahi bintang Dealova itu.

Sementara pernikahan Andah dan Jonas sudah diketuk palu untuk batal oleh Pengadilan Agama Kota Depok, kasus Jessica dan Ludwig masih bergulir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah itu juga melibatkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta, lantaran ada dugaan pemalsuan dokumen. Sebab saat kakak Jessica datang ke Disdukcapil 17 Desember 2013, ia sudah membawa dokumen lengkap soal pernikahan sang adik.

Diakui Khusnul Anwar, salah satu staf LBH APIK yang diwawancara CNN Indonesia, Rabu (26/11) istilah pembatalan perkawinan memang kurang populer di Indonesia. Secara angka, masih jauh lebih tinggi perceraian ketimbang pembatalan.

Apa sebenarnya pembatalan perkawinan? Mengutip situs resmi LBH APIK, itu merupakan anggapan tidak sah atas perkawinan yang telah dilakukan.

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika ada pihak yang memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.

Syarat perkawinan itu sendiri, diatur dalam Pasal 6 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yakni: ada persetujuan kedua belah pihak, izin orang tua untuk usia di bawah 21 tahun, atau izin wali.

"Misalnya ada pemaksaan pernikahan, pernikahan di bawah umur, juga pemalsuan identitas bisa dilakukan pembatalan perkawinan," kata Anwar. Pemalsuan identitas yang dimaksudnya, termasuk status perkawinan, nama, usia, bahkan soal agama.

Secara proses, pembatalan perkawinan dan perceraian nyaris sama. Yang berbeda hanya hasil akhirnya. Diterangkan Anwar, perceraian masih mengakui pernikahan secara legal. Sebaliknya, pembatalan perkawinan tak menganggap itu ada.

"Istilahnya, semua catatan pernikahan akan dihapus, dianggap tidak ada," tutur Anwar. Ia juga mengatakan, status setelah perceraian adalah duda atau janda. Sedangkan untuk pembatalan perkawinan, statusnya tetap dianggap belum menikah.

Namun, Anwar melanjutkan, meski semua catatan pernikahan dihapus tidak lantas pasangan tidak mengakui anak (jika ada). "Di akta namanya tetap kedua orang tua, karena itu berkaitan dengan hak anak," ujar Anwar menerangkan.

'Kedaluwarsa' dalam 6 bulan

Suami atau istri, pejabat berwenang, sampai pihak lain yang berkepentingan, bisa mengajukan pembatalan perkawinan. Tapi semua tetap ada batas waktunya. Mengutip situs resmi LBH APIK, pengajuan dibatasi enam bulan setelah pernikahan.

Jika sampai lebih dari enam bulan dan masih hidup bersama sebagai suami istri, hak mengajukan pembatalan perkawinan dianggap gugur.

Aturan itu menimbulkan pertanyaan, melihat kasus Jessica. Ludwig baru mengajukan gugatan pembatalan perkawinan pada 13 Oktober 2014. Padahal, ia dan Jessica tercatat menikah 11 Desember 2013. Artinya, mereka sudah menikah selama 10 bulan.

Meski begitu, gugatan tetap diterima dan diproses PN Jaksel.

Anwar menjelaskan, biasanya memang ada permasalahan yang bisa ditoleransi sehingga lebih dari 6 bulan masih boleh mengajukan pembatalan perkawinan. Salah satunya, jika berkaitan dengan pemalsuan surat atau dokumen.

"Karena itu terkait dengan pidana. Mungkin bisa menyelesaikan pidananya dulu baru mengurus pembatalan perkawinan," Anwar menuturkan.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER