AKSI SOSIAL SELEBRITI

Lagu Garapan Band Aid 30 Dianggap Pembodohan Budaya

CNN Indonesia
Kamis, 11 Des 2014 16:33 WIB
Lagu Do They Know It’s Chrismas yang diciptakan Bob Geldof dan dibawakan proyek Band Aid 30 dianggap berlebihan dan pembodohan budaya.
Do They Know It's Christmas, lagu ciptaan Bob Geldof, dianggap 'lebay' alias berlebihan. (International Monetary Fund Photograph/Stephen Jaffe)
Jakarta, CNN Indonesia -- William Pooley, pekerja sosial di Sierra Leone, Afrika Barat, mengkritik lagu amal yang dirilis sejumlah penyanyi Barat yang tergabung dalam Band Aid 30 untuk menggalang dana bagi korban ebola. “Ini Afrika, bukan planet lain,” kata Pooley kepada Radio Times.

Ia menilai, lagu Do They Know It’s Chrismas yang diciptakan Bob Geldof, tiga dekade silam, itu lebay atau berlebihan. Terutama liriknya yang berbunyi, “kematian di setiap air mata.” “Sebenarnya orang-orang di sini hidup normal. Lagu itu tak lebih dari pembodohan budaya.”

Menurut Pooley, sebaiknya orang-orang membaca lebih banyak informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di Afrika Barat. Kalaupun ingin beramal, bisa berbuat nyata seperti membantu merawat pasien ebola.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam hal ini, Pooley tidak sendirian. Selain dirinya, banyak juga pihak lain yang melabeli lagu ini tidak sensitif. Penyanyi Emeli Sande pun berkomentar singkat, “Butuh lagu baru.” Senada Fuse ODG yang menulis untuk Guardian, “Terkejut dan ngeri.”

“Saya seperti kebanyakan orang, saya muak dengan seluruh konsep tentang Afrika: sebuah benua antah berantah yang kaya dengan sumber daya dengan potensi, namun selalu dilihat sebagai biang penyakit, padat penduduk, dan miskin,” kata Pooley.

Pooley sendiri berasal dari Eyke, Suffolk, dan telah kembali ke Sierra Leone sejak Oktober. Kemarin (9/12), ia mengatakan kepada Guardian, telah mendonasikan life-saving plasma untuk dokter di Amerika Serikat yang terjangkit ebola.

Saat ini, ia bekerja di bangsal yang dihuni 16 pasien di Connaught, rumah sakit pemerintah di Freetown. Dalam sehari, lebih dari delapan mayat per hari ditanganinya. Pengidap ebola tak bisa bertahan hidup lebih lama dari lima hari.

Menurut Pooley, para dokter di bangsal memprotes minimnya ketersediaan peralatan standar. Mereka melakukan aksi ini setelah dokter ke-10 di negara itu, termasuk dokter bedah umum dari Connaught, meninggal karena ebola.

Pooley mengatakan, bantuan dari berbagai pihak tidak bisa diterima begitu saja, karena harus melalui penyaringan terlebih dahulu. Padahal bantuan sangat dibutuhkan, mengingat pasien sudah menumpuk di tenda sementara di depan gerbang rumah sakit.

“Pemerintah berjanji memberikan dana bantuan, bulan lalu. Saya tidak tahu apakah benar-benar dijalankan atau tidak,” kata Pooley. Menyumbang memang lebih baik daripada tidak. Tapi mempersulit dengan banyak birokrasi itu sangat memalukan.”

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER