Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjadikan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) menjadi di bawah Unit Pelaksana Teknis menuai kontroversi dari kalangan budayawan dan seniman Jakarta.
Selama beberapa hari terakhir, seniman yang biasa berada di TIM melaksanakan panggung aksi protes atas keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hingga pada Selasa (13/1) malam, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat datang ke Cikini untuk menghadiri undangan dialog dari para seniman TIM mengenai nasib dari pusat kesenian dan budaya Jakarta itu.
Di atas panggung terbuka TIM, seniman yang menamai diri Seniman Jakarta itu membacakan petisi di depan mantan Wali Kota Blitar tersebut. Seniman Jakarta menolak keputusan Ahok menempatkan PKJ-TIM menjadi di bawah UPT, menolak segala bentuk usaha Pemda DKI menjadikan TIM sebagai kawasan komersial melalui retribusi yang membebankan para seniman, dan menolak keberadaan kepemimpinan TIM di bawah pejabat non-seniman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih dalam petisinya, Seniman Jakarta menuntut keseteraan posisi budaya dan kesenian sejajar dengan bidang politik, ekonomi, dan hankam; Menuntut Pemprov DKI membangun infrastruktur kesenian dan budaya serta mengalokasikan sedikitnya dua persen dari pendapatan daerah guna pembangunan seni dan kebudayaan; serta mengembalikan PKJ-TIM seperti saat dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai suaka kebudayaan Jakarta dan Indonesia.
Menghadapi tuntutan para seniman TIM, Djarot menjanjikan beberapa hal. Ia menegaskan, keputusan Pemprov DKI tidak akan menyentuh aspek kreativitas dan budaya dari para seniman, selain itu juga dirinya menampik niat pemda untuk menjadikan TIM menjadi lebih komersil.
“Jikalau birokrasi menyulitkan seniman, silahkan gugat saya. Kami memang dipilih untuk mengemban amanah ini untuk membangun masyarakat. Tidak benar harga sewa TIM akan dinaikkan, jaminannya saya. Anggaran dua persen pun akan disediakan, namun jika para seniman menggunakan uang negara, maka harus dipertanggungjawabkan,” ucap Djarot di atas panggung.
Djarot mengaku bahwa DKI sudah cukup kaya untuk menjadikan TIM sebagai kawasan komersil. Keputusan menempatkan PKJ-TIM menjadi sebuah UPT lantaran Pemprov tidak dapat memberikan dana hibah kepada TIM secara terus menerus secara rutin. Lebih jelas diterangkan oleh Deputi Gubernur bidang Pariwisata DKI Jakarta Sylviana Murni kepada
CNN Indonesia.
“Keputusan ini terkait dengan pengamanan aset, TIM ini kan aset Pemda, dan juga berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) aset ini harus dikelola, dan untuk yang mengelola haruslah Pegawai Negeri Sipil, ini hanyalah masalah regulasi kepemilikan dan penyelenggaraannya saja, jauh dari unsur kreativitas,” ujar Sylviana.
“Pemerintah memberi kebebasan kepada para seniman, tetapi ada regulasi yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan karena ini semua menggunakan uang APBD dari rakyat, siapa pun yang menggunakan harus mempertanggungjawabkan, tapi komitmen dari pemda tidak akan mengganggu kreativitas,”
Selepas menemui para seniman, Djarot diiringi pejabat eselon Pemda DKI meninggalkan panggung terbuka dan memasuki aula di Taman Ismail Marzuki guna berdialog dengan para pejabat dan pengurus TIM sebelumnya. Dalam pertemuan tersebut, Djarot pun mengungkapkan hal yang sama ketika di panggung. Bahwa pemerintah DKI tidak berminat ikut campur mengenai urusan kesenian dari para seniman, namun ia kembali beralasan ini terkait dengan regulasi.
Ketika di dalam, para mantan pegurus Badan PKJ-TIM kembali menolak kehadiran UPT sebagai bentuk solusi yang diberikan oleh Pemprov DKI. Mereka menilai UPT tidak akan mampu mengangkat kembali TIM karena permasalahan yang sebenarnya adalah ada dalam peraturan daerah yang belum mengatur dengan jelas berkenaan pengelolaan TIM. Tuntutan TIM menjadi peraturan daerah disetujui oleh Djarot. Selain itu, para seniman yang kebanyakan senior tersebut menuntut kepercayaan dari Pemrov DKI kepada seniman untuk mengelola TIM.
“Kami hanya menuntut retribusi dihilangkan, karena itu yang memberatkan, dan pemerintah harus mendengar masukan dari seniman dan pengelola, sehingga dialog ini penting,” ujar Bambang Subekti, Kepala Badan PKJ-TIM.
Bambang menjelaskan, permasalahan pengelolaan ini bukan hanya terkait fisik fasilitas, tetapi juga terkait jasa-jasa para seniman. Menurut penjelasan Bambang, permasalahan TIM yang paling mencekik para seniman adalah terkait retribusi. Retribusi dalam pengelolaan TIM berkisar sepuluh hingga 70 juta sekali pentas, tergantung pada fasilitas yang digunakan, dan harga tersebut di luar uang sewa gedung.
Retribusi tersebut diakui Bambang juga untuk menutupi uang gaji para pegawai dan operasional gedung serta fasilitas. Ia mengatakan bahwa pemerintah hanya menyuplai 30 persen dari biaya operasional fasilitas. Gaji pegawai tidak termasuk tanggungan pemerintah daerah, selain itu ditambah harus menutupi perawatan dan pegelolaan fasilitas.
Bambang ikut meragukan UPT yang dipimpin oleh Isti Hendrati akan sanggup mengangkat TIM karena menurutnya orang-orang birokrat UPT bukan yang mengerti mengenai kesenian. Keinginannya hanyalah meninjau ulang peraturan daerah bersama para seniman dalam mengelola Taman Ismail Marzuki. Keputusan tersebut bagi Bambang harus ada hitam di atas putih.
Bagi Nungki Kusumastuti, salah satu seniman yang juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, tindakan yang paling tepat adalah membiarkan seniman untuk fokus berkarya tanpa harus terbebani dengan permasalahan manajemen TIM. Namun, konteks manajerial juga harus diketahui oleh para seniman. Selama ini, baginya tidak ada permasalahan krusial yang terjadi, penawaran dari pemerintah menurutnya sudah cukup baik dan yang dibutuhkan adalah komunikasi antara kedua belah pihak, pemerintah dan seniman.
“Ahok juga sudah meminta kepada para seniman untuk membicarakan keberatan selama ini secara kolektif, sehingga ketika ada tuntutan, peraturan dapat ditinjau kembali,” cerita Nungki.
Menurutnya, hal yang sama terjadi juga saat era Ali Sadikin, namun kondisinya tidak serumit saat ini. Ali Sadikin saat itu memberikan tantangan kepada seniman untuk mampu mengelola TIM degan baik atau akan diambil oleh pemerintah. Baginya, uang yang banyak tidak semata-mata menjadikan karya seniman lebih baik. Ia pun pernah mengakui bahwa pasokan uang dari DKI pernah memburuk sekitar tahun 1996, di mana Dewan Kesenian Jakarta hanya menerima Rp 300 juta untuk enam komite, namun di tengah kesulitan tersebut seniman tetap dapat berkarya.
“Semua dapat didialogkan, seniman tidak bisa hanya sekedar nadah meminta dana, tetapi harus dapat mempertanggungjawabkannya dengan baik.” Ucap Nungki.
(vga/vga)