Jakarta, CNN Indonesia -- Cerianya dunia anak-anak tak akan pernah lengkap tanpa kehadiran orang tua dalam sisi mereka. Ada kalanya anak dengan hati dan kepribadian yang kuat dapat bertahan menjalani hidup sekalipun tanpa belaian dan kasih sayang ayah dan ibu di sisi mereka.
Alih-alih mendapatkan kasih sayang dan belaian, anak-anak yatim piatu ini justru malah diperlakukan selayaknya pembantu. Mereka dibentak, diperintah, dan dikurung dalam kamar sempit.
Meski begitu, anak-anak ini tetap dapat tersenyum dan bernyanyi seolah tak merasakan penderitaan yang sepatutnya tak layak diterima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggalan di atas adalah kisah awal pembuka dalam film
Annie. Film ini diproduksi oleh Village Roadshow Pictures dengan menggandeng sutradara komedi Will Gluck.
Bukan kali pertama film
Annie ini beredar. Versi 2014 ini adalah kesekian kalinya gadis lincah nan periang ini berada di layar lebar. Sebelumnya,
Annie pernah menghiasi layar perak pada 1977, 1982, dan 1999.
Versi asli Annie adalah pertunjukan teater musikal ternama Broadway yang juga mulai pentas pada 1977. Teater musikal yang sudah berulang kali dipentaskan ini berasal dari komik berjudul Little Orphan Annie karya Harold Gray.
Ada tiga hal yang tidak pernah lepas dari kisah Annie, yaitu kehidupan anak periang yang yatim piatu, gadis kulit putih berambut pirang, dan musikal.
Gluck mencoba menghapus salah satunya, ia dengan berani mengganti sosok Annie yang kulit putih berambut pirang dengan gadis Afro-Amerika berambut ikal dan cokelat yang diperankan dengan cemerlang oleh peraih nominasi termuda
Academy Awards untuk kategori Best Actress, Quvenzhane Wallis.
Sebenarnya perubahan itu adalah taktik sutradara membuat film kali ini terasa berbeda dari sebelumnya, sisanya hampir atau dikatakan mirip.
Namun keputusan Gluck dapat dikatakan cukup jenius untuk mempercayakan peran Annie yang sudah melekat dengan gadis kulit putih berambut pirang kepada sosok Wallis.
Wallis memerankan perannya dengan baik. Hanya ada beberapa plot yang dirasa kurang, ia terasa hambar ketika menyanyi, serasa
lipsync.
Terdapat satu lagi yang terasa berbeda dibanding film-film sebelumnya. Di versi 2014 ini, Annie masuk dalam kehidupan teknologi super canggih. Sang Will Stacks adalah pengusaha telepon dengan jaringan komunikasi super canggih dan penuh kekayaan yang seolah tanpa batas.
Broadway sangat terasa dalam film versi 2014 ini. Bagi yang pernah melihat Annie sebelumnya, dapat dipastikan hafal semua lagu yang tampil. Namun bagi yang pertama kali melihat, jangan khawatir, lagu-lagunya cukup mudah diikuti dengan tempo yang menyenangkan untuk di dengar.
Kehadiran Jamie Foxx sebagai Will Stacks sanggup membawa suasana ceria sepanjang film diputar. Dengan banyolan yang sedikit
slapstik dikombinasikan dengan koreografi dan lagu yang baik, semua terasa pas.
Peran Cameron Diaz dapat dikatakan cemerlang dalam film ini. Ia berhasil memerankan sosok Colleen Hannigan dengan sangat baik, tukang mabuk, pemarah, benci anak-anak, dan perawan tua yang genit.
Namun nampaknya Diaz perlu banyak latihan koreografer. Pada beberapa tarian, tampak ia begitu canggung dengan koreografi yang tampak menggelikan.
Secara keseluruhan film ini mempunyai alur cerita yang cukup membuat penonton duduk betah menonton nyanyian dan tarian yang silih berganti.
Namun beberapa hal tampak tidak masuk akal, seperti saat bertemunya Annie dengan Stacks dan kenyataan bahwa Annie tidak dapat membaca, namun di awal film dirinya dapat membaca sebuah surat.
Siapapun yang memerankan Annie, film ini layak menjadi tontonan keluarga saat menghabiskan waktu bersama. Pesan yang disampaikan pun cukup mengena kepada para penonton.
(vga/vga)