Jakarta, CNN Indonesia -- Afrika, 2016. Kriminalitas melonjak, polisi pun banyak tertembak. Ratusan kejahatan bisa terjadi setiap bulan. Tak terhitung jumlah korban meninggal. Tetravaal yang menemukan solusinya. Perusahaan robot itu membuat robot polisi berbahan titanium.
Anti tembak, hampir tak bisa mati. Kejahatan pun menurun drastis. Robot-robot itu disebut Scout, dengan identitas berupa angka.
Deon Wilson (Dev Patel) adalah otak di balik semua itu. Ia membuat robot berpenampilan ramping yang bisa berstrategi perang, sekaligus melindungi polisi manusia. Polisi puas, dan memesan ratusan robot polisi itu lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Justru Deon sendiri yang belum ingin berhenti bereksperimen. Ia ingin menciptakan robot yang bisa berpikir dan merasa, persis seperti manusia. Suatu hari, eksperimennya berhasil.
Sayang, Deon tidak mendapat izin dari sang bos, Michelle Bradley (Sigourney Weaver). Ia pun memutuskan menggunakan salah satu Scout yang sudah rusak, bernomor 22. Jika dipasangi 'alam sadar', ia terbangun seperti bayi baru lahir.
Upaya Deon tidak mulus. Dua bahaya mengintai. Satu dari rekan kerjanya, Vincent Moore (Hugh Jackman) yang iri atas kesuksesan Deon, satu lagi gerombolan penjahat yang memaksanya membuat robot untuk membantu mereka merampok.
 Poster film Chappie. (Dok. Sony Pictures Entertainment) |
Di antara dua tekanan itu, Deon berhasil membuat Scout 22 terlahir kembali. Bagai bayi, ia belajar satu demi satu hal. Ia bahkan belajar memanggil Mommy, Daddy, dan namanya sendiri: Chappie. Sementara Deon, disebutnya sebagai Maker (Sang Pencipta).
Kini, Chappie di antara dua pilihan. Belajar mengembangkan kreativitas dengan melukis seperti tuntunan Deon, atau ikut gerombolan penjahat untuk merampok dan membunuh.
Sementara itu, Vincent Moore membuat seluruh Scout di kota mati mendadak karena menghapus data mereka. Kesalahan ditimpakan pada Deon. Bagaimana ia memperbaiki segala kekacauan itu?
Terbawa perasaanChappie bukan film berbintang. Wajah kondang yang berseliweran hanya milik Jackman, Patel, dan Weaver. Ia juga hanya satu dari sekian banyak film tentang robot, polisi, dan manusia. Meski begitu, ceritanya tetap menarik.
Sutradara Neill Blomkamp sukses membalut fiksi ilmiah dengan drama nan humanis. Banyaknya konflik yang dihadapi Deon membuat penonton merasa kalut. Ada ancaman dari bos, rekan kerja, diri sendiri, dan gerombolan penjahat.
Namun, kehadiran Chappie sebagai bayi robot seolah menghapus segala kekalutan itu. Gerakan
motion picture dan suara imut Sharlto Copley sebagai Chappie, membuat penonton terenyuh. Insting keibuan Yo-Landi, salah satu anggota penjahat, juga membuat penonton perempuan terasa ingin ikut menimang bayi.
Gerak-gerik robot Chappie tampak menggemaskan. Ia menirukan ucapan, gaya berjalan, berbicara sopan, sampai minta dibacakan cerita malam.
Chappie terasa sebagai film yang humanis. Blomkamp seakan ingin menyampaikan, siapa pun bisa memiliki perasaan. Tak peduli apakah dia penjahat, atau robot sekali pun. Dan perasaan itulah yang membuat mereka harus dimanusiakan.
Akting Patel dan Jackman mewarnai film itu. Patel yang sukses membintangi Slumdog Millionare, kali ini menjadi sosok geek yang lugu tapi penuh kasih sayang dan gigih.
Sementara Jackman, jangan harapkan ia menjadi pahlawan bak Wolverine. Kali ini ia harus menjadi tokoh antagonis yang menyebalkan.
Uniknya, Chappie justru lebih hidup dengan kehadiran tiga anggota gerombolan penjahat, yakni Ninja, Yo-Landi, dan Amerika (Jose Pablo Cantillo). Mereka digambarkan keji namun tetap punya hati.
Di luar logikaSayang, humanisme yang dibawakan Blomkamp seringkali terasa di luar logika. Ada beberapa adegan yang terasa berkaitan, namun jika dipikir ulang justru mustahil. Blomkamp jadi seperti mencipta konflik yang percuma.
Saat Moore mematikan seluruh Scout, misalnya. Penjahat seharusnya tak lagi butuh Chappie untuk merampok. Sebab, tujuan utama mereka merekrut Chappie adalah membantu melawan polisi robot yang bakal dihadapi saat merampok nanti.
Anehnya, Chappie masih menjadi rebutan.
Bukan hanya itu, Chappie juga dikisahkan mampu memindahkan alam sadar yang dimilikinya, yang membuatnya berbeda dengan robot-robot lain, ke dalam komputer. Dengan helm pembaca saraf, ia juga bisa memindahkan alam sadar manusia untuk dimasukkan ke tubuh robot jika mereka tewas.
Selain kekurangan logika, film yang disutradarai pembuat
District 9 dan
Elysium itu juga berakhir nanggung. Tidak ada kejelasan apakah nama baik Deon pulih, dan apakah Moore yang membuat kekacauan benar-benar dihukum.
Tidak pula ada kejelasan, apakah robot seperti Chappie akan diperbanyak, dan bagaimana ia harus menghadapi hidupnya kelak sebagai sosok dengan pikiran manusia tapi bertubuh robot.
 Salah satu adegan dalam film Chappie. (Dok. Sony Pictures Entertainment) |
Menghibur dan memberi pelajaranMeski begitu, secara keseluruhan film Chappie bisa dibilang menghibur. Tingkah polah Chappie benar-benar mengingatkan penonton pada anak kecil. Tak jarang celetukannya membuat seluruh penonton bioskop terguling-guling karena tawa.
Kepolosan Chappie juga merupakan hiburan tersendiri.
Selain itu,
Chappie juga sarat pelajaran. Film itu cocok ditonton segala usia. Anak-anak mendapat pelajaran soal memegang janji, bagaimana menghindari perbuatan jahat, berbicara sopan, sampai mencintai orang lain.
Sementara orang tua, dapat melihat bagaimana cara mendidik anak dengan baik. Berbohong, apalagi demi kejahatan sangat tidak dianjurkan. Bukan saja anak menjadi tak percaya, itu juga akan menyakiti perasaan mereka yang polos.
Namun, jika ingin mengajak anak ke bioskop menonton
Chappie, sebaiknya tetap didampingi karena akan ada heroin, darah, kata-kata kotor, kelicikan, dan beragam senjata tajam.
Film
Chappie bisa ditonton di bioskop Indonesia mulai hari ini, Rabu (4/3). Di Amerika, film itu baru dijadwalkan rilis 6 Maret 2015.
(rsa/vga)