HARI MUSIK NASIONAL

Rekaman Musik Konvensional Lebih Memanjakan Imajinasi

Ardita Mustafa | CNN Indonesia
Senin, 09 Mar 2015 20:15 WIB
Ada sederet sensasi yang dirasakan anak muda zaman dulu ketika rekaman musik konvensional, seperti kaset, masih menjadi patokan kesuksesan seorang artis.
Piringan hitam di masa depan bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. (morgueFile/mconnors)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menjadi pemilik toko piringan hitam bernama Substore yang terletak di Pasar Santa, Jakarta, bukanlah pengalaman pertama pria bernama Aria Angga Dwipa menyentuh rekaman fisik musik.

Jauh sebelum itu, pada 1996-an, Aria dikenalkan oleh rekaman fisik musik berbentuk kaset oleh kedua kakak lelakinya.

Belum mampu sering-sering membeli kaset, Aria kecil sudah cukup puas hanya mendengarkan kaset warisan dari sang kakak yang gemar mendengarkan lagu-lagu dari band metal dan alternatif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beranjak SMP, Aria sudah bisa menyisihkan sedikit uang. Ia, yang jatuh hati dengan band Oasis, mulai memberanikan diri datang ke toko Duta Suara di Jalan Sabang, Menteng, dan Aquarius di Jalan Mahakam, Blok M.

Bagai masuk ke toko permen, Aria remaja tidak pernah lupa akan sensasi berbelanja kaset di kedua toko yang sangat populer pada zamannya itu.

"Kaset yang sudah dibeli biasanya langsung diputar terus di mobil keluarga dan walkman," kenang Aria, saat diwawancara oleh CNN Indonesia pada Senin (9/3).

Kenangan Aria akan masa-masa itu tidak pernah luntur, meski sekarang ia telah berumah tangga.

Dari mulai masuk ke dalam toko, rasa deg-degan mencari kaset yang di rak toko, membuka bungkus plastik kaset sampai mendengarkannya sambil membolak-balik lembaran kaset, seperti itulah sensasi yang dirasakan anak zaman dulu ketika rekaman fisik masih menjadi patokan kesuksesan seorang artis.

Aria memang sempat tidak setia dengan kenangannya. Memasuki tahun 2000-an, ia tergoda mengoleksi rilisan digital yang dengan mudah bisa diunduh secara ilegal. Keputusannya karena saat itu sedang krisis ekonomi dan ia merasa kalau mengunduh ilegal lebih ekonomis.

Tapi sejak setahun yang lalu, Aria akhirnya memutuskan untuk kembali mendengarkan rekaman fisik berupa piringan hitam dan CD

Alasannya, karena ia merasa kupingnya lebih terpuaskan jika mendengarkan nada dari piringan hitam. Ia juga merasa lebih menghargai musisi dengan tidak melakukan donwload ilegal.

"Kalau download ilegal sekali dengar bisa langsung buang. Seperti tidak menghargai jerih payah musisi. Sedangkan kalau beli rekaman fisik, kita harus riset dulu dan akhirnya menghargai apa yang sudah kita beli," kata Aria.

Saat ini, tidak hanya Oasis yang didengarkan Aria. Setelah terjerumus ke lembah piringan hitam, wawasan musiknya semakin luas.

"Saya jadi suka mendengarkan musik jazz, karena setelah mendengarkan di piringan hitam ternyata musik jazz itu sangat kaya nuansa," ujar Aria.

"Rasanya seperti menonton film dari DVD Blu-Ray," lanjut Aria yang hingga saat ini memiliki lebih dari 200 koleksi piringan hitam.

Beruntungnya sang istri, yang juga berkongsi mendirikan Substore bersama sang kakak, yang sama-sama kolektor. Jadi tidak ada larangan, meski harus tetap mendahulukan pengeluaran rumah tangga.

Hanya saja ada satu piringan hitam yang sangat ia ingin koleksi, yaitu album jazz bertajuk Djanger Bali karya Tony Scott dan Indonesian All Stars.

Album yang cover-nya berupa foto salah satu relief di Candi Borobudur itu berisikan karya-karya Jack Lesmana, Bubi Chen, Maryono, Benny Mustapha dan Jopie Chen yang menjadi penanda hadirnya musik jazz modern di Indonesia.

Kuantitasnya yang jarang, membuat album kolaborasi itu berharga menjulang.

"Saat ini harganya sekitar Rp 2,5 jutaan. Saya belum berani mengeluarkan uang sebesar itu," kata Aria sambil tertawa.

Ditanya, apakah mungkin ada piringan hitam Djanger Bali bajakan, Aria menjawab tidak.

Pasalnya, untuk memproduksi piringan hitam saja biayanya tidak murah.

"Mungkin ada piringan hitam bajakan, tapi pasti yang membajak modalnya sangat besar," ujar Aria sambil tertawa.

Masih menurut Aria, piringan hitam pada masa depan bukan sekedar tren, namun kebutuhan.

Tidak hanya sempurna didengar, namun suatu hari piringan hitam bisa saja menjadi solusi mengatasi pembajakan karya.

Apalagi saat ini ramai musisi yang mulai merilis rekaman hanya ke piringan hitam, seperti Maliq and the Essentials, Sore, The Upstairs, Seringai hingga D'masiv.

Harganya memang sedikit lebih mahal daripada CD, tetapi percayalah, piringan hitam adalah investasi masa depan untuk hati dan pikiran.

(ard/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER