Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam sebuah ruangan bercat putih, terlihat seorang pria sedang menggenggam
mic sambil menutup mata. Tiba-tiba ia berteriak keras seperti sedang merapalkan mantera. Gemuruh musik ingar pun terdengar seperti sudah diaba-aba.
Di situasi yang berbeda, ia terlihat sedang menyeruput minuman es teh manis di sebuah rumah makan. Di belakangnya, terlihat sosok pengamen dengan gitar sedang menyanyikan lagu cinta.
Itulah secuplik tayangan dari dokumenter
Bising karya Adythia Utama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara garis besar, dokumenter tersebut menceritakan tentang perkembangan genre musik
noise di Indonesia.
Sebagai penjelasan, dikutip dari blog
rawfromthenorth, musik
noise adalah
sub-genre dari musik eksperimental yang dibuat dari susunan suara-suara yang aneh dan memekakkan telinga.
Surealis, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan
noise. Yang paling mudah didengar mungkin
noise di lagu-lagu Sonic Youth. Tapi sebenarnya masih banyak lagu-lagu
noise yang jauh lebih tulen dan kreatif.
Ditemui
CNN Indonesia, pada Kamis (15/4), Adyth, begitu sang sutradara ini biasa dipanggil, banyak menceritakan kisah di balik pembuatan film dokumenternya.
"
Noise adalah sesuatu yang baru dan belum banyak yang mengetahuinya di Indonesia. Musik ini memiliki keindahan tersendiri. Ketika teman saya, Danif, memberi ide membuat dokumenter ini, saya langsung mau. Siapa tahu saya juga bisa dapet pacar. Hehehe," kata Adyth yang juga pernah tampil dengan band-nya di acara-acara
noise di Jakarta dan Yogyakarta.
Memiliki latar belakang pendidikan jurusan dokumenter di Institut Kesenian Jakarta, tidak membuat Adyth kesulitan menggarap
Bising.Di luar negeri sudah ada dokumenter serupa, tapi lebih banyak berbicara soal penampilan panggung para pelaku
noise.Diakui Adyth, jalan cerita
Bising yang dikumpulkan sejak 2010 hingga 2014 itu mengalir begitu saja, karena banyak dibantu oleh teman-temannya sesama pelaku noise seperti Ican Harem "Liwoth," Heickel "Aneka Digital Safari," Bambang "Terror/Incognita," dan Edi "Argot."
Beberapa pelaku
noise luar negeri juga berhasil ia wawancarai seperti Kiyasu "Sete Star Sept," Sebastien Lemonon, DJ Urine dan Kazuhisa Uchihasi.
Yang paling menarik dari dokumenter itu adalah opini dari Ican Harem.
"Setelah dokumenter ini tayang,
noise Indonesia pasti lebih ramai. Jadi lebih baik kalian bubar dari sekarang," kata Ican sambil tertawa.
Adyth bahkan tidak mengeluarkan dana sepeser pun. Di sela pekerjaannya sebagai tim dokumentasi JKT48 yang mengharuskannya pergi ke luar kota dan luar negeri, ia mengumpulkan satu demi satu
scene-scene Bising."Sebenarnya
Bising sudah rampung sejak tahun 2011, namun karena saya sibuk dengan pekerjaan lain, akhirnya baru selesai diedit tahun 2014," ujar Adyth.
Saat ini Adyth banyak apresiasi dari dokumenternya. Berbagai acara penayangan di Korea Selatan, Jepang, Israel, Swiss, Hong Kong dan Kroasia sudah ia lakukan.
"Rasanya senang, karena
noise Indonesia diapresiasi juga di luar sana. Sudah pasti mereka yang di luar negeri kaget dengan perkembangan di sini," kata Adyth.
Sudah memutarkan film di luar Indonesia, Adyth masih berharap bisa melakukan penayangan di Indonesia. Ia juga berharap dapat segera merilis dokumenternya ke dalam bentuk fisik.
"Setelah ini saya juga ingin membuat dokumenter lain tentang musik funkot atau
funky kota di Indonesia. Semoga
Bising menjadi salah satu arsip musik Indonesia yang semakin diapresiasi dengan baik," ujar Adyth menutup pembicaraan.
[Gambas:Youtube] (ard/ard)