Jakarta, CNN Indonesia -- Koleksi di sebuah rumah di Kalibesar, Jakarta Kota, sudah membeludak saat Sir Thomas Stamford Raffles membangun bangunan baru di Jalan Majapahit nomor 3. Tempat baru itu dijadikan gedung untuk
Literary Society, atau dalam bahasa Belanda
Societeit de Harmonie.
Semakin lama, bangunan itu semakin tidak bisa menampung koleksi yang ada. Tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda pun membangun gedung baru yang jauh lebih luas, di Jalan Medan Merdeka Barat nomor 12. Kawasan itu dahulu disebut
Koningsplein West. Di atasnya ada
Rechst Hogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum.
Sekitar tahun 1868, bangunan yang menjadi penampung akhir koleksi tentang sastra, etnologi, sejarah, maupun fisika dan biologi itu itu dibuka untuk umum. Hingga sekarang, bangunan itu masih bertahan. Masyarakat kini lebih mengenalnya dengan Museum Nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sejarah yang tertulis di situs resmi Museum Nasional, rumah di Kalibesar tahun 1700-an itu merupakan cikal bakalnya. Itu merupakan sumbangan JCM Radermacher, penggagas
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) yang berdiri 24 April 1778.
Itu perkumpulan ilmiah sejenis
De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen yang tren di Belanda tahun 1752. BG didirikan secara independen, dan menampung segala hasil serta koleksi ilmu seni maupun ilmu pengetahuan. Semboyannya "
Ten Nutte van het Algemeen", alias "Untuk Kepentingan Masyarakat Umum".
Di tangan Raffles tahun 1800-an, lembaga itu lebih maju. Dari sebuah rumah kecil, koleksi BG menempati bangunan yang kini menjadi Sekretariat Negara. Lalu berpindah ke areal yang kini Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Di sana, koleksinya terus meningkat. Gedung itu kemudian dilengkapi patung ikonik berbentuk gajah perunggu di depannya. Itu hadiah dari Raja Chulalongkorn atau Rama V, petinggi Thailand saat berkunjung tahun 1871.
Masyarakat kemudian mengenalnya juga dengan Gedung Gajah, Museum Gajah, atau Gedung Arca karena di dalamnya menyimpan banyak patung.
BG, penggagas gedung itu dianggap berjasa dan diberi gelar Koninklijk. Tahun 1950 ia akhirnya "di-Indonesia-kan" menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Lembaga itu akhirnya menyerahkan pengelolaan museum ke tangan pemerintah Indonesia, 17 September 1962.
Memasuki Museum Nasional, seperti terhipnotis ke masa lampau Indonesia. Di gedung itu tersimpan berbagai barang peninggalan dari setiap periode negeri. Mulai belulang yang ditemukan terpendam sampai ada di kerajinan tradisional Papua. Mengunjungi Museum Nasional adalah mengenali Indonesia lebih dalam.
Tepat hari ini, Jumat (24/4) Museum Nasional telah berusia 237 tahun sejak digagas oleh BG. Untuk memperingatinya, diadakan berbagai gelaran budaya nan semarak di sana. Pengunjung juga digratiskan mengunjunginya hari ini saja.
(rsa/vga)