Jakarta, CNN Indonesia -- Film pendek
The Fox Exploits The Tiger’s Might arahan sutradara muda Lucky Kuswandi tak hanya menarik dari segi cerita. Judul panjang film ini juga punya cerita tersendiri.
Bagi sebagian etnis Tionghoa, peribahasa
The Fox Exploits The Tiger’s Might atau
Hu Jia Hu Wei tak asing. Peribahasa klasik ini sudah beredar sejak era Warring States pada 475–221 Sebelum Masehi.
“Jadi sebenarnya peribahasa Mandarin itu cukup terkenal ya,” kata Lucky saat jumpa pers di MD Animation, kawasan Tanah Abang, Jakarta, pada hari ini (11/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh Lucky mengisahkan peribahasa ini “tentang seekor rubah yang mau dibunuh sama macan dan dia bilang sama macannya, 'lo jangan bunuh gue, gue yang paling kuat nih, di desa ini.’”
Tentu saja si macan, Lucky menambahkan, tak percaya begitu saja kata-kata si rubah. Agar si macan percaya, si rubah pun mengajak si macan bertemu warga desa.
Karuan saja warga desa ketakutan, bukan lantaran melihat si rubah, tetapi si macan di belakang rubah. Dengan kata lain, rubah menggunakan kekuasaan si macan untuk kepentingan sendiri.
Gambaran semacam ini, diakui Lucky, juga ada di kehidupan manusia di mana pun, bukan hanya di Indonesia. Isu yang menurutnya layak diangkat sebagai tema film.
“Penyalahgunaan kekuasaan dan relasi kekuasaan yang sangat cair ini sangat tepat dijadikan judul film, walaupun memang ribet,” kata Lucky, yang kebetulan beretnis Tionghoa.
“Kami juga
nyebutnya ribet waktu syuting,” Lucky mengakui. “Dulu, kami
nyebutnya Hans and David. Kayaknya sampai sekarang kami
nyebutnya Hans and David, deh.
Bila kemudian peribahasa
The Fox Exploits The Tiger’s Might dijadikan judul filmnya, Lucky beralasan, “Secara tema sangat masuk sama filmnya. Kami pilih judul itu dan kayaknya eksotis aja."
The Fox membahas isu seksualitas dari perspektif yang lebih kompleks. Sebagaimana pernah disampaikan Lucky, beberapa waktu lalu, “Seksualitas berelasi dengan banyak hal. Dalam film ini, kami hubungkan seksualitas dengan kejadian perebutan kekuasaan.”
“Kami tidak melihat seks sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan,” kata sang sutradara. “Seks adalah hal yang sangat mendasar. Tapi masyarakat kita takut dengan hal-hal berbau SARA dan seksualitas.”
Kini, Lucky dkk tengah bersiap “terbang” menuju Cannes, Perancis.
The Fox siap diikutsertakan dalam kompetisi Semaine de la Critique atau Critic's Week, salah satu program Festival Film Cannes.
Festival yang merupakan selebrasi seni sinematografi ini siap digelar pada 13-24 Mei 2015.
The Fox mampu “melibas” 1.750 film pendek lain yang berkompetisi di Critic's Week.
The Fox merupakan film ke-dua Indonesia yang berjaya di Cannes. Sebelumnya, sekitar 25 tahun lalu,
Tjoet Nja Dhien (1989) berhasil menembus ketatnya seleksi Cannes.
“Kegiatan kami di Cannes: ada tiga kali pemutaran film. Dua kali untuk pers, satu kali untuk publik,” kata Lucky. “Saya juga menghadiri semacam
workshop untuk mengembangkan
project baru, bersama
film maker, produser, dan distributor dari Paris.”
(vga/vga)