Lukman Sardi: Talenta Perfilman Indonesia Tak Kalah dari Luar

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Kamis, 07 Mei 2015 11:51 WIB
Kita sudah lama diincar Hollywood. Buktinya, beberapa film Hollywood rilis perdana di Indonesia. Negeri ini juga sering punya duta promosi film Hollywood.
Lukman Sardi (CNNIndonesia/Rizky Sekar Afrisia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah tidur panjang, beberapa tahun terakhir, film Indonesia makin menunjukkan eksistensinya. Hal itu juga disadari oleh Lukman Sardi selaku sineas film Indonesia.

Salah satu bukti bangkitnya perfilman Indonesia, beberapa pemain kita sempat bergabung ke Hollywood. Joe Taslim, Iko Uwais, Ray Sahetapy pernah merasakannya. Apakah ini tanda Indonesia mulai diakui dunia?

Lukman mengakui, Indonesia adalah pasar konsumen terbesar. Kita sudah lama diincar Hollywood. Buktinya, beberapa film Hollywood rilis perdana di Indonesia. Negeri ini juga sering punya duta promosi film Hollywood.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya talenta-talenta di Indonesia tidak kalah dengan yang ada di luar. Cuma jika membandingkan Indonesia dengan Hollywood, saya rasa itu terlalu picik," kata Lukman kepada CNN Indonesia ketika ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, pada Selasa (5/5).

Lukman menegaskan, bahwa umur yang baru dijalani industri perfilman Indonesia tidak sebanding dengan yang sudah dilalui Hollywood. Meski film nasional sudah puluhan tahun, ia sempat mati suri dan baru kembali era 2000-an.

Meski begitu, bukan berarti film Indonesia lantas tak mampu bersaing. "Yang terpenting niat dari filmmaker untuk terus membuat karya yang berkualitas bagi penonton, serta niat pemerintah memajukan industri film," katanya.

Banyak sineas yang diakui Lukman ingin benar-benar membuat film berkualitas, namun terbentur masalah regulasi yang sumir. Seperti aturan perlindungan film lokal, pajak film, dan sebagainya. Menurut Lukman, itu belum dipikirkan secara matang oleh pemerintah.

Masalah itu makin mendesak karena perkembangan industri perfilman kian pesat. Lukman memberi contoh pesatnya pembangunan kebudayaan Korea Selatan yang kini merambah dunia.

"Jangan kira Gangnam Style itu mendadak ada. Itu karena pemerintah Korea sudah memperkirakan budaya pop Jepang akan stagnan, dan pemerintah Korea sudah merancang untuk tampil dari jauh hari. Ternyata terbukti budaya Korea sekarang lebih masif."

Kepedulian dan sensitivitas pemerintah menjadi kunci dari bertahan atau berkembangnya industri perfilman. Di Malaysia, perlindungan terhadap film lokal jauh lebih terasa.

Pemerintah Malaysia memiliki aturan yang mewajibkan bioskop menayangkan film lokal paling sebentar dua pekan, dengan atau tanpa penonton. Sedangkan di Indonesia, bioskop biasanya menurunkan film lokal jika dalam tiga hari penjualan tiket tidak memuaskan.

Masalah di industri film kita makin kompleks karena tidak adanya sistem yang jelas soal produksi. Lukman mengakui, masih banyak sineas yang lebih mementingkan produksi film tanpa memikirkan proses setelahnya. seperti promosi. Akibatnya, film yang dihasilkan minim peminat.

Layar bioskop juga menjadi masalah. Kata Lukman, sejauh ini baru ada 900 layar bioskop untuk 250 juta penduduk Indonesia.

Masalah lainnya, adalah jarak yang terlalu cepat bagi film nasional, untuk ditayangkan di televisi. Itu membuat penonton enggan datang ke bioskop, karena bisa mendapat film yang sama tanpa membayar, dari televisi.

"Tapi produser tidak bisa disalahkan juga, karena sebagai pebisnis mereka butuh balik modal. Wajar ketika akhirnya menjual film ke televisi agar modalnya balik dan dapat buat film lagi," ujar Lukman berargumen.

Dengan sekian banyak permasalahan dalam industri perfilman Indonesia, Lukman berpesan agar sistem perfilman diperbaiki terlebih dahulu. Baru setelah itu, membanggakan sineas Indonesia yang mulai dilirik oleh Hollywood.

(rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER