Jakarta, CNN Indonesia --
Tomorrowland mungkin tidak mencetak angka fantastis di
box office pekan ini. Namun film yang dibintangi George Clooney itu punya cara tersendiri menyajikan harapan dan optimisme masa depan. Lewat fiksi ilmiah.
Optimisme
Tomorrowland pertama terbersit lewat senyum Frank Walker cilik, yang dimainkan Thomas Robinson. Ia dikisahkan ikut sebuah festival sains dunia, yang mengumpulkan ilmuwan-ilmuwan genius. Walker cilik membawa jet pack ciptaannya ke festival itu.
Di sanalah ia kemudian bertemu Athena (Raffey Cassidy), yang memberinya sebuah pin ajaib. Dari pin berbentuk huruf T itu, Walker masuk ke sebuah dunia di dimensi berbeda. Dunia masa depan. Tempat para ilmuwan mencipta hari esok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai suatu ketika, hari esok adalah mimpi buruk bagi Walker. Dunia masa depan pun porak poranda. Ia diasingkan ke dunia masa kini.
Dua puluh lima tahun kemudian, pin ajaib kembali bekerja. Kali ini di tangan seorang gadis remaja bernama Casey Newton (Britt Robertson). Dengan optimisme meluap-luap dan mimpi pergi ke bintang dengan roket, Casey menganggap dunia masa depan adalah pesona.
Dibantu Athena yang mendadak muncul kembali, ia bertemu dengan Walker. Bocah cilik dengan senyum optimistis itu telah menjadi pria berumur (George Clooney). Setengah mati Walker menghalangi mimpi Casey ke Tomorrowland.
Sementara Athena, yakin benar optimisme Casey bisa memperbaiki dunia dan mengembalikan Tomorrowland seperti fungsinya sedia kala.
Berkejaran dengan robot pembunuh dan kehancuran dunia, mereka mencari cara ke Tomorrowland, naik roket rahasia di Menara Eiffel, lalu mengembalikan harapan manusia.
Secara keseluruhan, Tomorrowland tak ubahnya film-film Disney lain. Ia menyuguhkan dongeng berujung indah. Meski tanpa putri dan pangeran, film itu dibuat memanjakan emosi dan optimisme bocah-bocah cilik di dunia. Alurnya pun menarik, meski sudah bisa ditebak.
Namun untuk hitungan film fiksi ilmiah, Tomorrowland kalah jauh dibanding
Star Wars, Inception, Avatar, Edge of Tomorrow, The Wizard of Oz, bahkan
Jurassic Park. Dunia distopia dan robot tidak cukup sains.
Mereka seakan sekadar menjadi ikon ilmiah. Disney seakan hanya ikut-ikutan fiksi ilmiah yang sedang jadi primadona dunia perfilman.
Penjelasan Gubernur Nix (Hugh Laurie) soal monitor penebar keputusasaan yang memancar dari Tomorrowland, juga tidak cukup "ilmiah", meski rumit. Penyelesaian film juga sama sekali tidak memanfaatkan imajinasi ilmiah.
Meski begitu, ada sebuah pesan penting di akhir film yang membuat
Tomorrowland layak tonton. Pada akhirnya film itu menegaskan, tak perlu menjadi ilmuwan genius untuk mengubah dunia jadi lebih baik. Bekal harapan dan optimisme saja sudah cukup jadi senjata.
Temukan kembali harapan Anda dalam
Tomorrowland, yang sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak akhir pekan kemarin.
(rsa/rsa)