Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah semrawut proyek transportasi di Jakarta, terjadi pembunuhan di kawasan Kuningan. Seorang konglomerat bernama Suryadi Gunawan ditembak mati secara profesional dengan pistol berperedam di tengah kemacetan. Sopir dan
bodyguard-nya pun ikut tewas.
Penembakan itu disusul pembunuhan-pembunuhan lain secara beruntun. Budi Susanto, direktur salah satu kelompok perusahaan Suryadi, ditembak saat memberikan bukti penting di sebuah kafe di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Konglomerat Ronald Sudiro bahkan tewas di kantornya sendiri, kawasan Sudirman. Bodyguard dan sekretarisnya yang membiarkan tukang AC samaran masuk ke kantornya yang terkunci.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teror belum berakhir. Iskandar Raharja, pembocor dari Dinas Tata Ruang Pemprov DKI Jakarta pun tewas dengan peluru dari senjata yang sama. Ia ditembak di tengah proyek pemerintah di kawasan Cempaka Putih.
Setelah itu, sebuah bom mobil meledak di halaman parkir Polda Metro Jaya, tepat di bawah hidung Kepala Kepolisian Daerah. Pemiliknya, konglomerat Panji Hartono selamat, akhirnya langsung dijaga ketat
bodyguard.
Jarak antara satu kasus ke kasus lain yang begitu cepat itu membuat Komisaris Polisi Hardi Setiawan pusing. Ia ditunjuk langsung menanganinya. Bersama tim kecilnya, Hardi mengetahui itu berkaitan dengan megaproyek tersembunyi bernilai ratusan juta dolar.
Mega Subway namanya. Gubernur Wiyono Adiputro dan adiknya, Agung Adiputro, terseret.
Sementara mengejar pelaku penembakan yang ternyata berkaitan dengan masa lalunya bersama Fretelin di Timor Timur, Hardi juga dihadapkan pada kenyataan bahwa anak semata wayangnya, Evi terancam diperkosa dan dibunuh.
Seluruh kisah itu terasa bagai kenyataan. Padahal itu hanya imajinasi penulis Eddie Sindunata dalam buku
Proyek Maut. Yang membuat kisah Eddie sangat kuat adalah kekentalan napas Jakarta di dalamnya. Pembaca dibuat berimajinasi cerita itu terjadi di Jakarta.
Eddie menampilkan semrawutnya jalanan Kuningan, misalnya, lokasi pembunuhan pertama, dengan nyaris sempurna. Pembaca tak kesulitan menggambarkan suasana dalam benak mereka. Nama-nama jalan dan lokasi pun persis.
Ceritanya juga sangat dekat dengan Jakarta. Semrawut transportasi, ancaman penculikan anak, paedofil sekaligus pembunuh, korupsi, konspirasi politik dan persekongkolan konglomerat, menjadi isu yang hangat belakangan ini. Kinerja kepolisian yang menjadi sorotan juga dibuat menarik.
Eddie pun tidak sekadar menyuguhkan satu konflik. Kerumitan ceritanya menerbitkan rasa penasaran pembaca sehingga bertahan sampai ke halaman 339. Ibarat film, Eddie meramu pembunuhan, kriminalitas, dendam, kekuasaan, dan kepentingan finansial secara Hollywood.
Pembaca diajak membayangkan seorang agen FBI atau CIA profesional yang dipercaya mengungkap kasus konspirasi negara, sementara ia sendiri sedang dirundung masalah keluarga. Bukankah cerita itu sangat khas film-film Amerika?
Cara Eddie menuliskan masing-masing kejadian pun menarik. Adrenalin pembaca diajak berpacu, rasa penasaran pun dibangun, dengan menyuguhkan kasus secara setengah-setengah. Eddie juga tak ragu memberi
twist di akhirnya.
Padahal mengutip profil penulis di akhir buku, Eddie tidak berpengalaman menulis fiksi.
Proyek Maut adalah novel fiksi pertamanya. Sebelumnya ia menelurkan buku nonfiksi
Menjadi Penjual Sukses untuk Barang Industri. Sehari-hari, Eddie memang praktisi penjualan di sebuah grup farmasi. Tapi, ia suka fiksi.
Hobinya menonton film rupanya tidak sia-sia. Buku
Proyek Maut layak direkomendasikan bagi pembaca yang gemar cerita laga ala detektif.