Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa pun yang besar pada era '90-an pasti ingat sensasi menonton film di cakram padat keperakan bernama
laser disc. Dan salah satu judul film besar yang pernah populer lewat media tersebut adalah
Jurassic Park.
Hingga satu dekade berlalu, banyak kritik mengatakan, film arahan sutradara Steven Spielberg itu melewati batas imajinasi alias
lebay—sebagaimana diistilahkan kaum muda zaman sekarang.
Tapi film yang dirilis pada 1993 itu nyatanya menghibur dan menjadi patokan bagi sineas Hollywood untuk membuat film bertema monster, lengkap dengan manusia-manusia berlarian dengan baju compang-camping berlumuran lumpur dan darah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini,
Jurassic World resmi ditayangkan di bioskop di dunia, setelah sebelumnya ramai diberitakan media massa, terutama sejak beberapa cuplikan adegannya tersiar di situs
web YouTube.
Film yang merupakan kelanjutan dari
The Lost World: Jurassic Park (1997) dan
Jurassic Park III (2001) ini masih bertemakan kecerobohan manusia yang memancing amarah hewan haus darah.
Berterima kasih kepada Grame Ferguson, Roman Kroitor, Robert Kerr dan William C. Shaw yang menciptakan teknologi IMAX. Berkat temuannya, momen menonton film
Jurassic World di bioskop IMAX tentu saja jauh lebih seru ketimbang sekadar via
laser disc di rumah.
Bioskop IMAX menawarkan teknologi, layar dan suara paling canggih, sehingga sensasi menonton aksi kawanan hewan purba ini terasa lebih "nendang." Seolah si makhluk purba sungguh-sungguh hadir di depan mata.
Jurassic World menceritakan tentang sepasang kakak beradik Gray (Ty Simpkins) dan Zach (Nick Robinson) yang dikirim orang tuanya Karen (Judu Greer) dan Scott (Andy Buckley) berlibur ke Jurassic Park di Isla Nubar, Costa Rica. Tak lain karena sang tante, Claire (Bryce Dallas Howard), yang ditugasi untuk menemani mereka, menjadi salah satu bos taman ini.
Berhubung sang tante terlalu sibuk mengurusi intrik manajemen, akhirnya kakak beradik ini tersesat hingga akhirnya bahaya mengancam mereka.
Demi menyelamatkan nyawa keponakannya, akhirnya sang tante meminta bantuan kepada salah satu karyawan yang ditaksirnya, Owen (Chris Pratt). Seperti yang sudah diduga, mereka berempat malah masuk dalam urutan rantai makanan dinosaurus jenis baru yang bernama Indominus Rex.
Para pemain, walau kurang terkenal, mampu memainkan perannya sesuai porsi. Mereka mampu menunjukkan ekspresinya walau harus beradegan dengan kengerian yang dihasilkan oleh teknik komputer.
Salah satu pihak yang terlihat menonjol tapi kurang berhasil mungkin tim penulis naskah bersama sang sutradara, Colin Trevorrow, karena mereka terlalu ingin membuat adegan demi adegan
Jurassic World tampak mirip dengan
Jurassic Park. Salah satunya, adegan diserang dino di ruangan pameran.
Belum lagi soal si tante yang seharian (ya, seharian, karena semua pemain tidak terlihat berganti baju sedari film dimulai hingga usai) terlihat nyaman berlari menggunakan sepatu hak tinggi.
Tapi beberapa kali tujuan sang penulis naskah untuk mengajak penonton bernostalgia dengan
Jurassic Park tercapai, antara lain saat ia membuat beberapa karakter teringat dengan betapa legendarisnya
Jurassic Park.Di samping apiknya pemain dan pretensiusnya penulis naskah, cerita film ini masih sama ngerinya dengan
Jurassic Park. Lihat saja penampakan dino mirip buaya sebesar ikan paus.
Ditambah lagi, aksi-aksi kejar-kejaran yang mampu membuat penonton menahan napas. Darah dan lumpur bukan hanya faktor yang membuat penonton merasa film ini penuh kengerian.
Secara garis besar, film ini sangat layak untuk ditonton. Tidak perlu menguras otak untuk mencerna maksud dan tujuan film ber-genre petualangan fiksi ilmiah ini. Anda bahkan akan tidak sadar untuk bertepuk tangan penuh haru setelah Gray dan Claire berdialog tentang gigi.
Perlu diingat, janganlah membawa anak di bawah usia 11 tahun untuk menonton film ini di bioskop, karena film dengan
rating 8,6 di situs web IMDB ini tidak berhenti menyuguhkan adegan mengigit daging dan tembakan yang mungkin akan membuat anak-anak seumuran itu ketakutan.
(ard/vga)