Lawu, CNN Indonesia --
Selama dua hari pada awal Juni di dua sendang di pelosok kaki utara Gunung Lawu berlangsung peristiwa kesenian untuk menyambut kelahiran dua bayi kembar hasil perkawinan seorang manusia Kodok Ibnu Sukodok dengan makhluk halus Roro Setyowati. Inilah cerita tentang tokoh di balik peristiwa itu dan alasan peristiwa itu harus terjadi."Ketika saya kecil, tiap hari Minggu tempat ini penuh dengan mereka yang datang dari kota Ngawi untuk
ciblon (berenang-berendam) dan piknik. Bahkan Sragen dan Solo,’’ kata Bramantyo Prijosusilo tentang Sendang Ngiyom dan Sendang Margo Mustiko Warih. "Sebuah kegembiraan.’’
Bram, demikian nama panggilannya, dilahirkan 50 tahun lalu hanya sekitar empat kilometer dari kedua sendang yang terletak di Desa Begal, Kecamatan Kedunggalar, sekitar setengah jam dari pusat kota Ngawi. Kaki utara Gunung Lawu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah sempat hidup di Armidale, Australia-kota asal ibunya, Jakarta, Yogyakarta dan London, lelaki yang lama
nyantrik di Teater Bengkel WS Rendra ini memutuskan pulang kampung delapan tahun silam.
Alasan romantisme semasa kecil tadi bukan satu-satunya alasan kedua sendang (kolam mata air) yang hanya berjarak sekitar seratus meter satu sama lain, menjadi salah satu perhatian utama Bram.
Alasan lain adalah persoalan praktis: aliran mata air kedua sendang itu menyatu menjadi Kali Ngiyom, dan sepanjang ingatan mengisi jaringan irigasi seluas sekitar 1.500 hektar sawah di sekitarnya.
Sekarang pun air masih mengalir tapi tak sederas dahulu. Tak lagi cukup. Debit air di kedua sendang begitu berkurang sehingga warga mulai sering berebut air untuk mengairi sawah mereka.
 Bramantyo Prijosusilo kembali ke kampung halaman dan menemukan dua sumber air alam yang kini semakin berkurang, sehingga petani berebut air untuk irigasi. (CNN Indonesia/Adrian Crapciu) |
"Tak pernah lagi mencapai separuh, apalagi penuh,’’ kata Bram sambil menunjuk kolam dengan luas 12 x 18 meter dengan kedalaman dua meter itu.
"Dulu hutan sekitar dua sendang ini begitu rimbun. Sekarang begitu kerontang,’’ kata lelaki yang selalu mengenakan surjan dan ikat kepala ini. "Kecuali yang tak jauh dari sendang. Itu pun tak seberapa.’’
Kesaksian yang sama disampaikan sebuah Pohon Kepuh dan Beringin tua di samping Sendang Margo. Dalam bisu keduanya terlihat ringkih, tak perkasa, kurus, pertanda kesuburan—rimbun dahan maupun sulur yang menjalar ke mana-mana—pun tak ada.
Dulu hutan sekitar dua sendang ini begitu rimbun. Sekarang begitu kerontangBramantyo Prijosusilo |
Inilah persoalannya. Hutan penyangga keberadaan dua mata air itu terus terkikis tersawahkan atau menjadi padang kosong bergerumbul karena pohon-pohon terus ditebang. Tak ada konservasi. Tak ada lagi keragaman pepohonan.
"Tinggal hutan jati saja yang ada. Hutan Perhutani,’’ ujar Bram. "Itu pun rentan ancaman pembalakan juga.’’
Bram merasakan sendiri betapa air tidak lagi semudah dulu. Pulang kampung ia mewarisi 11 hektare sawah warisan keluarga untuk dirawat. Kedua orang tuanya sudah puluhan tahun hidup tenteram di Australia. Kakak laki-laki dan adik perempuannya sudah berkeluarga pula di sana. Sementara, kakak perempuannya memilih tinggal di Jakarta.
"Dulu kami punya jadwal, sawah mana yang akan mendapat air untuk waktu tertentu. Lalu sawah mana berikutnya,’’ kata Bram bercerita. "Sekarangpun masih. Celakanya karena air tidak melimpah dulu, banyak yang kemudian curi-curi. Membuka saluran air malam-malam ke sawah mereka padahal bukan jadwalnya.’’
Persoalan air ini seringkali menimbulkan pertengkaran antar pemilik sawah. Sumber ketegangan yang gampang-gampang susah diurai. Gampang karena persoalannya hanyalah harus mengikuti jadwal pembagian air. Susah karena air yang dibagi tidaklah cukup, sementara sawah sangat tergantung pada persoalan kecukupan air.
Konservasi, Partisipasi, Narasi dan KesenianPersoalan mata air yang terancam ini bukannya tidak dimengerti oleh Pemerintah Kabupaten Ngawi hingga ke aparatur terendah.
 Dua kolam mata air yang sangat penting bagi irigasi pertanian di kaki Gunung Lawu terletak di dekat hutan lindung yang sekarang ditanami pohon jati.(CNN Indonesia/Yosi Tangtungan) |
Semestinya mata air sepenting Sendang Margo dan Ngiyom ini mempunyai radius perlindungan hingga 100 meter, artinya seputar seratus meter dari titik keberadaan mata air tidak boleh ada apa pun kecuali pepohonan yang dilestarikan. Hutan alam yang semata berfungsi sebagai wilayah resapan. Bahkan jika berpegang pada UU No. 41/2009 penetapan radiusnya adalah 200 meter.
Tetapi alih-alih mampu menerapkan peraturan tersebut, Perhutani malah menjadikan area hingga ke dekat dua sendang itu sebagai hutan industri, yaitu hutan jati.
Tak mengherankan kalau penduduk kemudian berani melakukan pelanggaran dengan menyawahkan area yang masuk dalam radius 100 meter lahan perlindungan. Sedikit demi sedikit dan semakin menusuk lebih dalam ke wilayah yang semestinya dilindungi.
Sendang Margo dan Sendang Ngiyom pun merana karenanya. Daerah penyangga terus menyempit, mata air mengecil, akar-akar pohon tak lagi banyak untuk menahan air hujan. Sementara air yang turun dari gunung Lawu seperti menguap begitu saja, tak terkumpul.
Upaya penyuluhan dari pemerintah agar warga tak menggerogoti wilayah hutan, merawatnya, maupun tak membalak, ternyata tak mempan. Program penanaman seribu pohon sempat dijalankan, lalu mati karena tak ada pengelolaan.
"Problemnya adalah karena pendekatan pemerintah yang bersifat program,’’ kata Bramantyo menjelaskan. "Dalam pengertian rakyat seperti tidak dilibatkan, kecuali hanya menjalankan.’’
Tidak ada yang sifatnya partisipasi. Susah untuk menjelaskan perlunya konservasi maupun yang lain ketika tidak ada yang menyentuh di hati dan alam khayal mereka.’’
Bramantyo, yang masih mondar-mandir Yogyakarta dan Solo untuk bertegur sapa dalam hidup berkesenian dengan seniman-seniman kedua kota itu, membicarakan persoalan di wilayahnya itu dengan rekan-rekannya. Lewat proses pembicaraan yang cukup panjang, hampir setahun, digagaslah rencana yang disebut dengan konsep
social sculpturing (memahat—alam pikir dan kesadaran—masyarakat).
“Itu bahasa sok intelektualnya,’’ kata Bramantyo separuh bercanda. "Mudahnya kami ingin melakukan gerakan partisipatif tetapi dengan terlebih dulu mengguncang alam pikir dan alam sadar masyarakat. Itu saya belajar mas Willy (WS Rendra) dan mas (Sawung) Jabo di Bengkel.’’
"Tetapi saya ini seniman
nanggung. Bisa apa saja tapi tidak ada yang menonjol,’’ demikian pengakuan Bram yang berjenggot lebat.
Ia menulis novel dan artikel, melukis, menulis puisi, bermain drama, bahkan pernah suatu masa menjadi dalang wayang kulit –berbahasa Inggris—keliling London dan sekitarnya. Ia juga pernah bekerja sebagai orang kantoran, menjadi wartawan BBC di London selama hampir satu tahun sebelum akhirnya bosan.
[Gambas:Youtube]Bram, yang sempat ikut berpentas bersama WS Rendra dalam
Panembahan Reso dan
Selamatan Anak Cucu Sulaiman, belajar akan kekuatan cerita untuk memengaruhi cara pikir. Dan bagaimana cerita bisa berkembang dengan narasi-narasi baru tergantung pada penerimaannya.
Ia juga belajar bagaimana Rendra dulu dengan Teater Bengkel sering melakukan eksperimen-eksperimen sosial semacam Kemah Kaum Urakan. Menguncang-guncang alam pikir dan alam (bawah) sadar masyarakat lewat kegiatan kesenian yang tidak berbatas pada panggung pementasan tetapi seni kejadian (
happening art).
Bramantyo sendiri lebih suka menyebutnya seni upacara. Menyelenggarakan pentas kesenian dengan konsep berupacara.
Menghadapi persoalan konservasi alam dan memiliki timbunan pengalaman berkesenian membuat Bram merasa harus memadukan keduanya. Melakukan konservasi alam lewat
social sculpturing dengan memanfaatkan seni kejadian-seni upacara.
Perkawinan Kodok Ibnu Sukodok dan Danyang Peri Setyowati"Ide perkawinan Kodok Ibnu Sukodok (seniman bohemian asal Solo yang sering bertandang ke rumah Bramantyo) dan Peri Sukowati itu sederhana,’’ kata Bram.
"Kami (para seniman dan semua yang terlibat) ingin mengingatkan bahwa kita semua ini adalah satu kesatuan makhluk Tuhan. Dari pohon, air, yang gaib, manusia, alam (semesta), harus menjaga titah Tuhan untuk saling menjaga dan memelihara.’’
 Seni kejadian kali ini menampilkan pembangunan rumah pasangan Ibnu Sukodok dan Peri Setyowati untuk menyambut kelahiran bayi kembar mereka. (CNNIndonesia/Adrian Crapciu) |
Maka Bram kemudian mengarang cerita mengenai peri (makhluk halus) penunggu dua mata air di hutan Begal bernama Peri Setyowati yang saling jatuh cinta dengan Kodok Ibnu Sukodok yang suka bertandang ke kedua mata air itu. Dan Mereka kemudian memutuskan untuk kawin.
"Tetapi cerita itu butuh ‘kaki’ untuk bisa diterima rakyat di sekitar sini. Kalau saya hanya bercerita tentu tak akan masuk dalam alam imajinasi penduduk di sini,’’ kata Bram menjelaskan.
Berembuklah ia dengan sang istri, Godeliva Sari—seorang wartawati dan penulis—dan lahirlah gagasan untuk menggelar pesta perkawinan adat Jawa bagi Ibnu Sukodok dan Peri Setyowati pada Oktober 2014. Sebuah upacara kesenian tetapi mengundang para tetangga layaknya sebuah perkawinan sesungguhnya.
Bram dan Sari terpaksa membuka sedikit tabungan yang mereka miliki. Gagasan "gila" itu mendapat dukungan dari jaringan seniman dan pertemanan yang kemudian membantu secara sukarela baik dengan tenaga dan sumbangan dana.
Pesta perkawinan yang digelar selama dua hari ini dihadiri lebih seribu orang. Tamu diundang dan yang tidak diundang berdatangan. Dari desa sekitar hingga jauh dari luar Kabupaten Ngawi. Kepolisian bahkan harus mengirim personel untuk melakukan pengamanan.
Sebagian datang didorong rasa ingin tahu. Sebagian lagi karena memang percaya bahwa perkawinan Ibnu Sukodok dan Peri Setyowati adalah perkawinan sesungguhnya.
"Begitu prosesi perkawinan dimulai, dongeng yang saya yang karang telah berkembang sendiri dan saya bukan lagi satu-satunya pengarang,’’ kata Bram. "Penduduk menambahi cerita mereka sendiri dan dongeng itu menjadi milik bersama.’’
Bram dan kawan-kawan tidak pernah membenarkan atau menolak cerita-cerita tambahan itu. Tetapi menyambutnya dengan senang hati.
Ada penduduk desa mengaku bermimpi didatangi peri Setyowati untuk pamitan mau kawin. Ada yang bersaksi malam sebelum perkawinan mendengar bunyi
gemirincing kereta kencana datang ke rumah mereka (yang diartikan datangnya Nyai Roro Kidul). Ada yang mengaku melihat barisan obor yang bergerak sendiri menuju tempat perkawinan dihelat.
[Gambas:Youtube]"Begitu penduduk mempunyai narasi mereka sendiri, melengkapi cerita kami, maka pintu masuk telah terbuka. Kami berhasil masuk ke alam bawah sadar mereka,’’ kata Bram menjelaskan.
Posisi Peri Setyowati sebagai
danyang penunggu sendang terpahat sudah dibenak penduduk. Termapankan.
Membangun Rumah, Merawat Alam"Yang kami lakukan selanjutnya hanyalah meneruskan narasi perkawinan Ibnu Sukodok dan Peri Setyowati tetapi untuk tujuan konservasi (alam) hutan Begal dan dua sendangnya itu,’’ kata Bram melanjutkan cerita.
Karenanya sembilan bulan setelah pesta perkawinan, Bram dan kawan-kawan kembali menggelar upacara: membangun rumah untuk keluarga Ibnu Sukodok dan peri Setyowati dan menyambut lahirnya anak mereka.
Cerita masih belum selesai sebelum seluruh daerah ini hijau kembali dan air berlimpah ruah mengairi sawah-sawah kamiBramantyo Prijosusilo |
Berbeda dengan upacara perkawinan yang dilakukan di rumah Bramantyo, pembangunan rumah dilakukan tentu saja di dua sendang hutan Begal: Sendang Ngiyom dan Sendang Margo Mustiko Warih.
Berbeda pula dengan ketika menggelar upacara perkawinan, Bramantyo sekeluarga dan rekan-rekan seniman harus banting tulang menggelarnya, pembangunan rumah dibantu penduduk dengan sukarela: gotong royong.
Semak belukar harus dibersihkan, kolam juga harus diperbaiki dan jalan menuju kedua sendang diperkeras.
Secara fisik pembangunan rumah nyaris tak ada yang dilakukan kecuali memberi batas ‘rumah’ dengan kain mori putih di seputar kolam mata air. Tetapi itu simbolik dan membentuk wilayah imajiner di benak para penduduk akan tempat yang harus dijaga dan tak boleh dirusak.
"Saya bisa merasakan bagaimana sikap masyarakat sangat berubah dari ketika upacara perkawinan diadakan dengan ketika membangun rumah ini. Dulu mereka skeptis. Enggan terlibat. Sekarang percaya sepenuhnya,’’ ujar Bram penuh kelegaan.
Untuk pembangunan rumah, atau lebih tepatnya penetapan wilayah yang dianggap daerah kekuasaan Peri Setyowati, bukan hanya penduduk yang antusias dan membantu. Seluruh aparat terendah pemerintahan hingga ke tingkat kabupaten terlibat.
Legitimasi atas keberadaan rumah perkawinan mahkluk halus Setyowati dan manusia Ibnu Sukodok secara politik terpenuhi dengan kehadiran Bupati Ngawi, Budi Sulistyono. Secara kultural hadir perwakilan lewat utusan tim tari dari Keraton Pakualaman Yogyakarta dan pemangku adat dari Keraton Mangkunegaran Surakarta.
Penduduk bersuka cita ketika pertunjukan wayang kulit digelar semalaman di Sendang Warih. Pada siang hari, upacara peresmian rumah digelar meriah dengan pegelaran tari, reog, pembuatan keris, penyucian wilayah sendang, dan makan nasi bancakan ingkung ayam bersama-sama seluruh penduduk desa.
Sebuah prosesi—upacara. Sebuah peneguhan.
Tak jauh dari tempat wayang kulit dibeber, tak jauh dari tempat penduduk desa menikmati nasi bancakan, tak jauh dari sendang Warih, ada rumah-rumahan kecil. Konon di situ anak kembar Ibnu Sukodok dan peri Setyowati ikut menyaksikan pertunjukan wayang kulit.
 Pertunjukan wayang kulit ikut memeriahkan seni kejadian pembangunan rumah menyambut kelahiran bayi kembar Ibnu Kodok dan Peri Setyowati. (CNNIndonesia/Adrian Crapciu) |
Bukan kebetulan kalau pasangan Ibnu Sukodok dan peri Setyowati mempunya dua anak kembar: Joko Samudro dan Roro Sri Parwati.
"Ya
mosok ada dua mata air kok anak mereka cuma satu. Ya, dua dong,’’ ujar Bram, kali ini dengan tersenyum dan sorot mata jenaka.
"Cerita masih belum selesai sebelum seluruh daerah ini hijau kembali dan air berlimpah ruah mengairi sawah-sawah kami.’’
(yusuf arifin/yns)