Jakarta, CNN Indonesia -- Selandia Baru selama ini dikenal sebagai "ladang" susu. Namun di tengah suasana alami dan sapi-sapi sehat yang dimiliki 'Negeri Hobbit' itu, sebuah perusahaan tengah mengembangkan bisnis baru yang terasa kontras:
drone. Pesawat tanpa awak itu untuk pasar Hollywood.
Tak bisa dipungkiri, kiblat perfilman dunia itu telah menciptakan pasar baru yang bisa digarap perusahaan apa saja, dari negara mana saja. Sejak aturan untuk drone di Hollywood melunak tahun lalu, seakan terjadi "ledakan" di dunia perfilman. Pemasangan kamera di teknologi nirawak itu kian marak.
Meski harganya bisa mencapai US$100 ribu atau Rp 1,3 miliar per kamera
drone, angka itu dianggap jauh lebih murah dibanding teknologi konvensional. Ada perbedaan harga yang signifikan dibanding menyewa
crane, helikopter, dan orang-orang yang mengoperasikannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga sewa drone per hari sekitar US$10 ribu hingga US$15 ribu, atau Rp 134 juta sampai Rp 201 juta. Sedangkan sewa helikopter saja, per hari bisa sampai US$30 juta atau setara dengan Rp 402 juta.
Maka drone dianggap sebagai jawaban terbaik untuk pengambilan gambar-gambar film dari atas.
Sebuah perusahaan di Selandia baru, Aeronavics ingin membuat inovasi. Mengutip
Reuters, sebelumnya ia telah berjasa membantu pembuatan film
Dr. Who dan
Twilight dengan teknologi pesawat tanpa awaknya. Selandia Baru dianggap cocok sebagai penyokong pasar Hollywood soal
drone. Ia sudah terasah.
Pembuat drone di Selandia Baru telah berpengalaman membuat inovasi bidang film, seperti animasi untuk
The Lord of the Rings dan teknologi penangkap gerakan serta pembaca mimik wajah untuk
Avatar. Pemerintah Selandia Baru bahkan sangat mendukung iklim itu.
"Banyak perusahaan teknologi
drone memulai dengan film yang dibuat khusus dan sektor fotografi. Dan industri film Selandia Baru punya reputasi global sebagai teknologi lanjutan di bidang film," kata Chris Thomson dari Callaghan Innovation.
Jika Selandia Baru ingin memfokuskan diri di bidang itu, peluangnya terbuka lebar. Keuntungan pun menanti di depan mata, untuk negara lain yang ingin merebut pasar yang sama. Menurut prediksi konsultan penerbangan dan pertahanan, Teal Group, pada 2024, industri drone akan bernilai sebesar US$91 miliar atau Rp 1,2 biliun.
Itu lonjakan yang tinggi, dibanding pada 2014 yang hanya senilai US$6,4 miliar atau Rp 85 triliun.
Seperti disinggung sebelumnya, Selandia Baru punya keunggulan atas drone dengan adanya perusahaan Aeronavics. Itu pembuat
drone pertama yang mendapat izin terbang. Perusahaan berbasis Raglan itu berencana meluncurkan satu set drone dengan spesialisasi memotret untuk film,
broadcast, dan olahraga.
"Sampai sekarang kami hanya produksi drone dan pelanggan berpikir bagaimana itu berguna untuk mereka. Akan ada solusi dari A sampai Z untuk aplikasi berbeda," kata Linda Bulk, salah satu penggagas perusahaan Aeronavics.
(rsa/vga)