Jakarta, CNN Indonesia -- Jumlah penonton film Indonesia semakin lama semakin berkurang. Hal ini, menurut sineas sineor Slamet Rahardjo, lantaran selera penonton Indonesia yang sudah tak lagi sama.
"Kualitas film Indonesia tidak buruk, tapi yang perlu dicatat bukan karena kualitasnya bagus atau jelek, tetapi selera penonton yang sudah diubah," kata Slamet kepada
CNN Indonesia ketika ditemui di Gedung Film, Jalan MT Haryono, Jakarta, pada Jumat (24/7).
Fakta yang diterima oleh para produser film Indonesia menggambarkan: dari 150 judul film Indonesia rata-rata dalam setahun, tak lebih dari dua judul yang sanggup melebihi capaian satu juta penonton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk empat film Indonesia yang tayang saat Lebaran lalu, yaitu
Comic 8: Casino's King, Surga yang Tak Dirindukan, Lamaran, juga
Mencari Hilal, belum ada yang menyentuh angka satu juta penonton di batas kurun penayangan film di bioskop, dua pekan.
Satu per satu layar bioskop diisi film impor yang juga rilis ketika Lebaran. Sehingga film lokal—yang berkualitas sekalipun tetap tergusur—tak dapat menggaet penonton ketika libur Lebaran.
"Jika berbicara kualitas, memang sedikit terlambat karena film buatan Amerikan sudah menjadi kebutuhan dari penonton. Penonton tidak bisa disalahkan karena proses tersebut dilakukan secara
sustainable."
Slamet memang menyayangkan penonton Indonesia yang masih lebih banyak memilih film Hollywood ketimbang film Indonesia. Ia pun sempat merasa kesulitan untuk membendung hal tersebut ketika masih menjadi ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).
Kala itu, ia tidak mampu membendung penonton yang "kabur" ke Singapura hanya untuk menonton film Harry Potter yang sempat dilarang beredar di Indonesia, beberapa tahun lalu.
Kondisi tersebut tentu saja terbilang ironis. Diakui Slamet, seharusnya menjadi kesadaran bagi Pemerintah untuk ikut membantu menyelamatkan perfilman Indonesia.
"Kalau ada sebuah peristiwa, lalu tidak ada negara dalam peristiwa tersebut, itu parah. Negara kami minta ada dalam peristiwa ini," kata Slamet.
Ia bersama sineas lain akan berusaha meminta posisi Badan Perfilman Indonesia (BPI) untuk lebih kuat dengan cara mengajukan revisi atas Undang-undang Perfilman yang dinilai Slamet bukan hasil pemikiran orang film.
Selain itu, dirinya juga akan bekerja sama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk membentuk lembaga yang akan mengurusi masalah perfilman Indonesia yang semerawut.
Tetapi Slamet juga masih memiliki harapan selera penonton Indonesia dapat kembali pulih mengunggulkan produk bangsanya sendiri seperti yang terjadi di Iran dan India.
Optimisme tersebut adalah dengan menggunakan media sosial yang kini lebih memegang peranan pencipta opini dan juga pola pikir.
"Bila media sosial pernah digunakan untuk membuat pola pikir seolah-olah tidak suka dengan produk dalam negeri, nah ini dapat digunakan juga untuk memperbaikinya," kata Slamet.
(end/vga)