Jakarta, CNN Indonesia -- Skripsi dan cinta. Dua hal yang rasanya kerap menghantui kebanyakan mahasiswa tingkat akhir, terutama para MA alias Mahasiswa Abadi yang tak kunjung lulus kuliah.
Inilah yang menginspirasi Sam Maulana menggarap novel
Catatan Akhir Kuliah. Berkisah tentang kehidupan sehari-hari mahasiswa dengan seabrek tugas, ditambah status
jomblo dan target wisuda yang bikin tertekan.
Novel yang dirilis, pada awal 2014, ini disambut baik oleh pasar, dan kemudian diincar sineas untuk diangkat ke layar lebar. Tanpa "bumbu" berlebihan, kisah versi film ini nyaris sama dengan novelnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sam (Muhadkly Acho) yang disebut oleh teman-temannya "Matelu" atau akronim Mahasiswa Telat Lulus, merasakan depresi yang seolah tak berkesudahan.
Ia harus menghadapi kenyataan: skripsi yang ia ajukan kepada sang dosen pembimbing tak kunjung disetujui, sama seperti perjuangan cintanya yang tak juga berbalas manis.
Bagai sudah jatuh ditimpa tangga, Sam harus menerima kenyataan para sahabatnya satu per satu lulus dan meninggalkannya. Sementara ia masih saja berkutat dengan skripsi dan cinta yang menggantung.
Ia pun memberanikan diri menghadapi semua dengan jantan. Demi masa depan, sekalipun tak jelas juntrungannya, ia mulai berbenah diri mengurai kesulitan hidupnya untuk lulus dari perguruan tinggi.
Kisah Sam sebenarnya merefleksikan perasaan para mahasiswa bernasib serupa. Terjebak di tengah pergolakan masa puber dan ditambah lagi tuntutan akademis yang semakin tinggi.
Sayangnya, penuturan film ini kelewat tersegmentasi dalam lingkup sosial kampus yang dirujuk. Berbagai istilah, sosio-kultur, bahkan sistem akademik terasa "Sam banget." Agaknya sang pembuat film lupa masing-masing kampus memiliki budayanya sendiri.
 Adegan film Catatan Akhir Kuliah (CNNIndonesia Free Watermarks/Dok. Dari Hati Fils) |
Sebenarnya penggambaran kehidupan anak mahasiswa tingkat akhir yang harus bertahan hidup jauh dari orang tua, dengan beban "segunung" sudah cukup baik digambarkan.
Akan jauh lebih dapat diterima kalangan luas bila cerita dapat dituturkan menjadi lebih umum, atau diberikan catatan kecil. Hal yang juga terlupakan oleh Jay Sukmo, sang sutradara.
Tanpa narasi detail, penonton seolah merasa terasing dan perlu adaptasi yang lama untuk ikut merasakan, atau mentertawakan "penderitaan" Sam.
Rasa ini sungguh berbeda bila dibandingkan dengan
Catatan Si Boy (1987)
, juga
Catatan Akhir Sekolah (2005) yang sanggup menjadi tren di eranya masing-masing.
Kedua film itu selain menggambarkan masalah secara umum, tapi juga menunjukkan berbagai masalah yang dihadapi, bukan cuma oleh pemeran utama, tetapi juga tokoh lain yang membuat kisah film tersebut lebih kaya.
Pola penuturan yang melompat-lompat waktu mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan latar belakang dari setiap kejadian yang sudah dituturkan di awal. Tapi bukannya mempermudah, justru ibarat memberikan tugas tambahan yang membuat kepala pusing dan tak konsentrasi dengan alur "penderitaan" Sam.
 Adegan film Catatan Akhir Kuliah (CNNIndonesia Free Watermarks/Dok. Dari Hati Films) |
Pilihan Jay Sukmo dan Johansyah Jumberan selaku penulis skenario untuk "bermain aman" di ranah percintaan Sam sebenarnya patut disayangkan. Selain membosankan, pilihan ini justru menjadikan film ini semakin miskin cerita dan terlalu terfokus pada satu sisi.
Padahal, kehidupan tingkat akhir bukan hanya masalah pencarian kekasih hati. Faktor keberadaan para sahabat Sam dirasa kurang diangkat, juga perjuangannya menyelesaikan skripsi yang sebenarnya dapat menjadi cerita yang lebih berbobot ketimbang pusing memikirkan cinta monyet.
Film ini tergolong berani untuk menggunakan Muhadkly Acho, seorang komika yang notabene berusia matang 31 tahun. Namun perannya sangat santai dan begitu mengalir tanpa melupakan komentar khasnya yang kadang mengundang tawa.
Para pemain yang lain pun sudah cukup mendukung menciptakan suasana ala mahasiswa, termasuk dari penampilan Wali Kota Bogor Arya Bima, yang menunjukkan bahwa politisi juga luwes berakting di depan kamera.
Penggunaan CGI dalam film ini terbilang cukup bagus dan tidak terlalu mengganggu, meski di beberapa
scene terlihat sedikit berlebihan. Hal serupa juga ada pada
dubbing yang kurang harmonis dengan gambar yang bergerak di
scene tertentu.
Terlepas dari berbagai catatan yang ditujukan pada
Catatan Akhir Kuliah, film yang baru pertama kali diproduksi oleh Dari Hati Films ini cukup dapat mengemas kisah ringan dengan gambaran yang natural tanpa harus merasa tengah menonton kepura-puraan.
(end/vga)