Bioskop Rela Merugi Demi Membela Film Indonesia

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Selasa, 04 Agu 2015 08:35 WIB
Bioskop terkadang masih mempertahankan film Indonesia yang tayang meski tidak terlalu banyak penonton. Dari sisi bisnis, itu sebenarnya konyol karena merugi.
Ilustrasi menonton film. (morgueFile/mconnors)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Pembela" film nasional berteriak-teriak saat ada yang "kalah bersaing" dengan Ant-Man tengah Juli lalu. Film impor, apalagi yang belakangan ini membombardir layar bioskop Indonesia dengan blockbuster seperti Ant-Man, Jurassic World, dan Avengers: Age of Ultron, dianggap sebagai biang keladinya.

Bioskop pun ikut-ikutan dituding bersalah, lantaran menjadi penyedia sarana Ant-Man tayang di lebih banyak layar. Bioskop pun dianggap tidak mendukung perfilman nasional.

Ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta, Senin (3/8) Direktur 21 Cineplex, Tri Rudi Anityo menjelaskan, pihaknya tidak berniat membela salah satu pembuat film, entah domestik maupun asing. Ia bahkan menegaskan tidak ada produser film yang dianakemaskan. "Menganakemaskan produser, tidak. Tapi film, iya," ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menganakemaskan film, lanjutnya, berarti membela kepentingan penonton. "Film yang diminati penonton, kita anakemaskan. Kita enggak mau penonton sudah antre, ternyata pulang dan gagal menonton film itu. Padahal ada layar lain yang penontonnya kosong," katanya menjelaskan. Itu kenapa terkadang satu film menempati banyak layar di satu bioskop.

Meski terkadang film yang "dianakemaskan" itu adalah impor, bukan berarti pihaknya tidak membela film nasional. Kebijakan jumlah minimal penonton pun sudah ia longgarkan jika itu menyangkut film nasional. "Seharusnya penonton minimal 10 persen dari kapasitas. Jika kurang dari itu langsung turun," ucapnya.

Namun, itu hanya untuk film asing. Untuk film nasional, bioskop hanya menurunkan jumlah penayangan. Salah satu contoh yang sedang ramai diperdebatkan adalah Mencari Hilal yang tayang 15 Juli lalu, sehari sebelum Ant-Man.

"Beberapa hari pertama penontonnya kosong. Berikutnya, lima pertunjukan hanya 130 penonton. Sehari tidak sampai 200 penonton," kata Anityo membeberkan data. Namun, film itu tetap dijaga sampai seminggu. Hanya jumlah penayangan yang dikurangi. Padahal jika itu film asing, sudah "didepak" oleh bioskop.

"Ini siapa tahu masih bisa ramai, lewat promosi mulut ke mulut," tuturnya menambahkan. Pada akhirnya, saat "persaingan" dengan Ant-Man, layar untuk film yang dibintangi Paul Rudd itu hanya 242 buah, sementara film nasional diberi lebih dari 400 layar.

Sebenarnya, mempertahankan film seperti itu membuat pihaknya merugi. Untuk menutup biaya operasional bioskop, setidaknya butuh okupansi 30 persen dari rata-rata 750 kursi penonton. "Tapi film nasional masih dipertahankan asal masih di atas 100 penonton per hari, meskipun itu sebenarnya kerugian operasional," ucapnya.

Namun di lain sisi sebagai bisnis, bioskop juga ingin menjadi salah satu penopang film nasional. Pengaturan layar merupakan salah satunya. Meskipun sudah ada film asing yang tayang pada tanggal tertentu dan "menghabiskan" layar, kata Anityo, ia tetap mengusahakan ada layar untuk film domestik.

Selain itu, bioskop 21 juga berusaha tetap ada di daerah-daerah, yang pelosok sekalipun. Meskipun, diakui CEO 21 Cineplex, Hans Gunadi dalam kesempatan yang sama, pihaknya terkadang merugi. Biaya investasi dan operasional jauh lebih mahal ketimbang pemasukan dari penonton.

Film nasional masih dipertahankan asal masih di atas 100 penonton per hari, meskipun itu sebenarnya kerugian operasional21 Cineplex
"Secara bisnis memang rugi. Tapi kami istilahnya kantong kiri kanan. Di satu sisi untung dan satu sisi rugi. Yang untuk menutupi yang rugi. Tapi kami ingin memuaskan penonton sampai ke pelosok," tuturnya dengan bijaksana.

Lagipula, Anityo percaya film tidak bersaing secara substitutif, meski itu melibatkan film domestik dan asing. Masing-masing penonton punya selera yang berbeda. Penyuka komedi misalnya, tidak menonton Mission: Impossible Rogue Nation karena itu laga. Mereka mungkin lebih memilih Comic 8: Casino Kings Part 1.

"Penonton Ant-Man pun belum tentu tidak mau menonton Comic 8 atau Surga yang Tak Dirindukan. Buktinya, dua film itu bisa menembus angka satu juta penonton. Dan tanpa film asing, belum tentu domestik bisa mencapai angka box office yang bagus," kata Anityo.

Selain tergantung selera penonton, laku tidaknya film juga ditentukan seberapa serius itu dibuat. Film serius pun, bahkan yang berbujet tinggi, tidak semuanya bisa laris manis lantaran tergantung selera penonton.

Film nasional tidak selalu keok. Ada Habibie & Ainun dan Laskar Pelangi yang mencapai empat juta penonton. Terbaru, Comic 8: Casino Kings Part 1, meski baru dua pekan di bioskop sudah sanggup meraup lebih dari satu juta penonton. Jika begitu, bioskop sebagai salah satu "pembela" film nasional jelas takkan merugi.

(rsa/rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER