Sutradara Iran: Ada Raja Kecil di Setiap Diri Kita

CNN Indonesia
Kamis, 13 Agu 2015 11:55 WIB
Di penjara, Mohsen Makhmalbaf berbagi sel dengan sejumlah tokoh besar revolusi Iran yang kini menjadi pemimpin, dan sebagian dihukum gantung.
Mohsen Makhmalbaf. (Chung Sung-Jun/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mohsen Makhmalbaf (58) pernah dipenjara, diracun, dilarang menampilkan karya bahkan juga dibom. Namun sang sineas sama sekali tak berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan berat.

Misalnya di filmnya The President, sebuah satire terbarunya tentang seorang diktator yang digulingkan dan hidup dalam penyamaran, dan akan segera dirilis. Makhmalbaf, exil asal Iran itu menjelaskan mengapa masyarakat korban pemimpin diktator juga bisa dipersalahkan atas tirani.  

“Masyarakat berbagi kesalahan,” kata Makhmalbaf yang terus bergerak-gerak saat wawancara dengan Guardian di London. “Dalam bioskop, saya cenderung untuk membuat orang yang duduk di sebelah saya merasa gila. Saya tak bisa duduk tenang. Saya harus terus menerus bergerak.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejarah kediktatoran adalah sejarah diamnya masyarakat juga. Ini sering kali bukan kediktatoran berdasarkan kekuatan — tapi kediktatoran berdasarkan ketakutan.” Mohsen Makhmalbaf
Makhmalbaf, salah satu sutradara ternama dari Iran, memang tipe yang tak bisa diam. Dia selalu memikirkan ide baru, mempertanyakan tentang dunia. Dia membuat sebuah film dan sebuah buku setiap tahun sejak 1981. Di rumahnya di Thames, masih ada setumpuk dokumen berisi dua lusin naskah yang menanti untuk digarap. Dia tak pernah kehilangan ide untuk cerita.  

Dalam film terakhirnya The President,  yang rencananya dirilis tahun lalu di Venesia dan akan diputar di Inggris pekan depan membuktikan kemampuannya lagi. Ini adalah film satire gelap tentang kehidupan pemimpin yang keji dan cucu lelakinya yang berusia 6 tahun saat mereka melarikan diri kala terjadi revolusi.

Menyamar sebagai pengamen jalanan, sang presiden yang diperankan oleh Misha Gomiasvilli mulai belajar tentang masyarakat yang ditekan kekuasaan negara. Meski mengambil lokasi di Georgia, film ini dibuat tanpa menyebut nama negaranya : negara ini bisa dianggap ada di mana saja. “Anda akan bisa melihat Irak, Libya, Suriah, Asia Tengah dan bahkan Kuba di dalamnya,” kata Makhmalbaf.

Makhmalbaf mendapat ide film ini 9 tahun lalu saat mengunjungi reruntuhan Istana Darul Aman di Kabul yang pernah jadi rumah mantan presiden Afganistan, Mohammad Najibullah.

“Saya pada awalnya membuat naskah berdasarkan kisah Najibullah,” kata Makhmalbaf. “Namun setelah musim semi Arab, saya menulis ulang semua berulang kali, dengan bantuan istri saya, menghapus semua penanda yang bisa membuat orang menduga itu tentang negara mana.”

“Paling tidak mereka punya presiden — tapi apakah cukup jelas apakah presiden itu terpilih karena kekuasaan dengan atau tanpa sebuah pemilu? Dia bisa saja seorang shah atau raja atau seorang presiden.  Apakah dia muncul karena revolusi atau penggulingan kekuasaan militer? Bisa saja keduanya. Anda bisa melihat Saddam Hussein asal Iraq dalam dirinya, atau Muammar Gaddafi dari Libya. Anda juga bisa melihat pemimpin besar saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, atau bahkan mantan Shah dari Iran dan istrinya Farah Pahlavi, yang kabur dari Iran sebelum revolusi.”

Makhmalbaf pernah mengalami langsung revolusi. Saat berusia 15 tahun, dia pernah memulai kelompok pemberontakannya sendiri untuk menggulingkan Shah.

Sempat dipenjara di usia 17 tahun karena berusaha menikam seorang tentara, dia dibebaskan lima tahun kemudian ketika Shah melarian diri ke luar negeri dalam revolusi 1979. Di penjara, dia berbagi sel dengan sejumlah tokoh besar revolusi Iran yang kini menjadi pemimpin, sementara sebagian lain dihukum gantung sebagai pengkhianat.

Setelah revolusi, Makhmalbaf berhenti berpolitik dan memulai karir sebagai penulis dan pembuat film. Tiga dekade kemudian, dia menjadi menjadi salah satu pendukung berat gerakan Hijau untuk pro reformasi di Iran yang bergerak di jalan tahun 2009 untuk menentang pemilihan kembali Mahmoud Ahmadinejad. Saat ini di Iran Makhmalbaf di persona non gratakan dan  semua karyanya dilarang beredar.  

Melihat banyak kegagalan di Arab dan dengan pengalaman sebagai orang Iran dalam pikirannya, Makhmalbaf banyak berpikir tentang peran masyarakat dalam pembentukan kediktatoran saat membuat film The President. “Lihat saja Suriah sekarang,” katanya.

“Presiden Bashar al-Assad adalah penjahat, tapi apakah para pendukung revolusi juga baik? Tidak, beberapa dari mereka bahkan lebih buruk dari dia. Situasi yang sama terjadi pada Gaddafi: dia pria yang jahat, tapi lihat para anarkis yang kini berkuasa. Dalam film selalu digambarkan bahwa diktator itu jahat dan masyarakat hanyalah orang-orang tertindas,” Makhmalbaf menjelaskan.

“Saya ingin menggambarkan masyarakan juga punya andil kesalahan juga, karena mereka diam. Sejarah kediktatoran adalah sejarah diamnya masyarakat juga. Ini sering kali bukan kediktatoran berdasarkan kekuatan — tapi kediktatoran berdasarkan ketakutan.”

Seperti sebagian dari film-film Makhmalbaf, The President adalah produk olahan bersama keluarganya. Anak lelakinya Maysam bertugas mengedit suara, istrinya Marzieh menjadi rekanan penulis naskah, bahkan anak terkecilnya Hana jadi editor filmnya.

Cara yang sama dilakukannya dalam filmnya yang berkelas internasional lainnya. Mulai dari The Cyclist (1987) hingga Gabbeh (1995). Namun dia mungkin paling dikenal sejak Kandahar (2001) diedarkan. Ini adalah film tentang jurnalis Afgan yang meninggalkan hidupnya di Kanada untuk menyelamatkan adik perempuannya yang punya kecenderungan bunuh diri di negeri tempat mereka dibesarkan.

Makhmalbaf mengatakan dia tak ingin dikelompokkan dalam salah satu gaya yang khas. “Saya tak ingin menjadi sandera dari gaya khas saya sendiri,” katanya. “Tiap film baru saya adalah pemberontakan terhadap film sebelumnya.”

Hingga kini dia telah membuat film di 10 negara, termasuk Afganistan, Pakistan, Tajikistan, India, Itali dan bahkan juga Israel saat membuat film The Gardener (2012) tempat yang dianggap tabu bagi negara asalnya sendiri.  Film terakhir itu berisi berdebatan antara seorang ayah dan anak lelaki tentang pandangan mereka akan agama dan kepercayaan.



[Gambas:Youtube]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER