Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- "Ya, akan ada
Ada Apa Dengan Cinta 2 dan akan mulai diproduksi pada Oktober nanti. Sutradaranya, Riri Riza," ujar Mira Lesmana di salah satu sesi acara PopCon Asia di Jakarta Convention Center, pada akhir pekan kemarin.
"Saya pastikan, Rangga kita tetap Nicholas Saputra dan Cinta kita tetap Dian Sastrowardoyo,” sang produser film menambahkan. Kabar baik ini tentu saja disambut hangat oleh pencinta film, khususnya penggemar Rangga dan aktor Nicholas Saputra.
Rangga memang karakter istimewa. Para pencintanya tentu hafal betul kedalaman dan kompleksitas karakter yang dimilik si kutu buku bertampang keren ini: cool dan individualistis. Nicholas begitu pas memerankan karakter yang satu ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya menonton film
Ada Apa Dengan Cinta (2002) saat masih duduk di bangku kelas satu SMP. Begitu fenomenalnya film garapan Rudi Sudjarwo ini, sampai-sampai saya sempat berpikir, adakah karakter berikutnya yang bisa menggungguli Rangga?
Kenyataannya, sudah 13 tahun berlalu dan sudah ratusan bahkan ribuan judul film dibuat, namun agaknya karakter Rangga belum memiliki pesaing yang nyata. Karakter remaja pria datang dan pergi begitu saja, nyaris tanpa kesan.
Karakter seperti Gambir (Fachri Albar) di
Pintu Terlarang (2006), Nugi dan Ipang (Herjunot Ali dan Vino G. Bastian) di
Realita Cinta dan Rock n' Roll (2007), atau Ikal (Lukman Sardi) di
Laskar Pelangi (2009), tidaklah selegendaris Rangga.
Padahal Indonesia memiliki segudang aktor muda berbakat, juga sineas brilian yang piawai menciptakan karakter baru. Lalu, di manakah letak persoalannya: apakah industri film Indonesia tidak mau atau tidak mampu menghasilkan “the next Rangga”?
Perfilman Indonesia mungkin saja belum bisa “
move on” dari karakter Rangga. Berbeda halnya dengan Hollywood yang tak ubahnya “pabrik karakter anyar.” Setiap saat, muncul karakter baru, bakat baru, dan legenda baru.
Siapa bisa melupakan karakter legendaris macam Blondie (Clint Eastwood), Michael Corleone (Al Pacino), Travis Bickle (Robert de Niro), Rick Deckard (Harrison Ford), Tyler Durden (Brad Pitt) dan Rustin Cohle (Matthew McConaughey)?
Bicara soal kemampuan, para aktor Hollywood ini memang piawai menangkap semangat zaman, atau dengan kata lain: menerjemahkan arketipe pria sesuai zamannya. Secara luwes, mereka menempatkan karakter dalam porsi seimbang dengan kepribadiannya sendiri.
Dari waktu ke waktu, Hollywood konstan menelurkan ikon pria dalam berbagai spektrum karakter. Industri perfilman AS terus berkembang dan menciptakan kebaruan, tanpa pernah terpaku pada karakter atau arketipe yang itu-itu saja.
Sementara dunia perfilman Indonesia cenderung konstan pasang surutnya. Penciptaan karakter seolah belum menemukan pijakan, sehingga kata “ikon” sulit dicari padanan figurnya. Meski demikian, tetap ada aktor dan karakter yang bersinar.
Dimulai dari Iskandar, karakter yang diperankan A.N. Alcaff di film
Lewat Djam Malam (1954) karya Asrul Sani. Potret pria yang mengalami gegar transisi di kehidupan sipil setelah sebelumnya menjadi tentara perjuangan Kemerdekaan era ’45 di Bandung.
Bisa dibilang karakter ini cakap merepresentasikan keresahan pria era pasca perjuangan Kemerdekaan, yang khawatir tak bisa menyesuaikan diri lagi dengan warga sipil. Belum lagi dihadapkan pada korupsi di tubuh Pemerintahan.
Kemudian ada Ali Topan dalam film
Ali Topan Anak Jalanan (1977) yang diperankan oleh Junaedi Salat. Ialah gambaran semangat kebebasan pria khas era '70-an di Indonesia di tengah menjamurnya band dan musisi yang variatif, dari God Bless sampai Panbers.
Ali Topan mewakili petualangan pemuda kala itu—yang bertaut tiga tahun pasca Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) di Jakarta. Cerminan sosok pemberontak, pencari kebebasan, terutama untuk menentukan nasib sendiri.
Ke mana-mana Ali Topan bersepeda motor tanpa helm. Membuat rambut gondrongnya berkibar-kibar. Sebebas ia bereaksi saat berhadapan dengan masalah otoritas. Junaedi Salat dinilai pas memerankan karakter Ali Topan.
Lalu, pada era 80-an lahir dua ikon lahir yang berasal spektrum karakter berbeda. Mereka juga dikisahkan berasal dari kelas sosial bumi langit. Yang pertama adalah Boy dari kelas elit dan Lupus dari kelas menengah.
Karakter Lupus digambarkan sebagai siswa SMA, wartawan majalah sekolah dengan tampilan ala John Taylor (pemain bass Duran Duran). Versi filmnya,
Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak (1987), yang diadaptasi dari novel berjudul serupa diperankan oleh Ryan Hidayat.
Sedangkan karakter Boy cenderung hedonis, supel dan flamboyan—atau lebih tepatnya, playboy. Di film
Catatan Si Boy 1 (1987), karakter Boy, sebagai pemuda keturunan kelas elit Jakarta era ’80-an, dipersonifikasikan secara pas oleh Ongky Alexander.
Sekalipun berbeda derajat, karakter Boy dan Lupus sama-sama digambarkan santun terhadap perempuan. Hanya bedanya, Boy memiliki sisi heroik—jago berkelahi. Karena memang begitulah wajah Indonesia era itu: sopan, stabil dan aman.
Memasuki ’90-an, tak disangka, muncul ikon Kasdoellah alias Doel, pemuda Betawi lulusan teknik mesin, yang dijuluki ayahnya, Sabeni, “tukang insyinyur.” Rano Karno meneruskan peran di film
Si Doel Anak Betawi (1972) karya Sjumandjaja ke layar kaca.
“Si Doel,” yang kini menjabat Plt. Gubernur Banten, memotret perjalanan figur kelas pekerja yang sukses berkarier berkat ditunjang etos kerja bagus, pendidikan tinggi formal dan sokongan kuat keluarga.
Pamor Si Doel sebagai ikon layar kaca berubah seiring erupsi demokrasi ’98 dan segala tragedi yang mengiringinya. Dunia telah berubah, refleksinya di layar kaca pun turut berganti. Indonesia kembali harus mencari pijakannya.
Empat tahun pasca Reformasi, muncul ikon pemuda bernama Rangga di film
Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Karakter yang diperankan Nicholas Saputra ini, menurut saya, merupakan titik kulminasi dari sekian figur laki-laki yang hadir sebelumnya.
Rangga dikisahkan sebagai anak seorang dosen oposan pemerintah Orde Baru. Ditinggalkan oleh ibu dan kakaknya, Rangga hidup berdua dengan sang ayah, yang sosoknya dianggap kontroversial dan subversif gara-gara penelitiannya soal Orde Baru.
Pribadi Rangga dingin, individualistis dan cerdas. Kadang dari tembok tebalnya Rangga berani mengungkap rasa. Kombinasi ini menjadikan Rangga menghormati kebebasan individu, hal yang kini jelas terlihat di generasi millenials (tumbuh pada era 2000-an).
Ia tak punya banyak teman. Sahabatnya adalah seorang janitor, Pak Wardiman. Posisinya yang berjarak dari hiruk pikuk pubertas SMA menjadikannya pengamat. Kecerdasan dan posisinya kadang membuat Rangga terlalu cepat menjadikan asumsi sebagai kebenaran.
Selera terhadap karya sastra pun jadi bagian penting dari Rangga. Boleh dikatakan AADC tak akan seru apabila Cinta (Dian Sastrowardoyo) tidak sempat membaca Aku karya Chairil Anwar, buku favorit Rangga.
Mengapa saya sebut Rangga sebagai kulminasi? Karena selain mempunyai sifat para ikon laki-laki yang telah ada sebelumnya, Rangga mampu menangkap semangat zaman. Ia mewarisi kegamangan Iskandar dalam kesehariannya.
Nilai penghargaan terhadap kebebasan individu Ali Topan juga melekat padanya. Leburan Lupus dan Boy menjadikannya santun serta berani pada saat yang sama. Doel pun mencipratkan karakter “
self-made man” di Rangga: andal urusan otak, cerdas bekerja dengan tangan.
Selama arkatipe Rangga belum tergantikan, mungkin kita tak perlu berharap muncul Rangga yang baru. Mungkin kita hanya perlu menunggu Rangga yang sudah menua, yang ada nun jauh di sana, untuk kembali menjadi Rangga di layar bioskop kita: AADC 2.
(ntp/vga)