Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak sedikit pun terbersit rasa marah dalam diri Nathalia Tjahja saat nyawa putri semata wayangnya diambil, 27 Maret 2006 silam.
Jerit histeris dan air mata yang pernah tumpah menangisi kepergian putri delapan tahunnya, berubah menjadi kepasrahan.
Bahkan hanya selisih beberapa bulan setelah napas terakhir sang putri diembuskan, Nathalia bangkit dengan sempurna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mendirikan yayasan atas nama putrinya, Maria Monique. Ia ingin memberi kebahagiaan pada anak-anak yang bernasib sama seperti Maria, tak punya lagi harapan hidup.
"Saya seperti mendengar bisikan dari Maria Monique dalam hati saya. Mom, berikan kebahagiaan pada anak-anak itu," ujar Nathalia saat berbincang dengan CNN Indonesia di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (25/9) malam. Nathalia pun mengabulkan "permohonan terakhir" mendiang putrinya itu.
Ia mengawali Yayasan Maria Monique pada 22 Desember 2006. Tujuannya sederhana, mewujudkan permohonan terakhir anak-anak berpenyakit dan kurang beruntung.
Nathalia berpegang pada keyakinan Tuhan saat mengawali yayasan itu dengan modal hanya US$50 atau Rp731 ribu. Namun seiring tahun, jumlah donasi bertambah dengan sendirinya.
Bukan hanya perusahaan besar seperti Garuda Indonesia atau JW Mariott dan Ritz Carlton, tetapi juga donatur sederhana seperti tenaga kerja Indonesia di suatu negara atau warung makan.
"Warung ini misalnya, memberi makan saya gratis setiap hari. Dan yang bisa saya lakukan hanya menyebut namanya di setiap kegiatan yang saya lakukan. Saya sendiri enggak tahu alasannya," kata Nathalia sembari menunjuk Waroeng Ngupi-ngupi yang menjadi langganannya di Mal Bellagio, Jakarta.
Apa yang Nathalia lakukan pun makin berkembang. Ia dan timnya yang kini berjumlah 1.400 orang, tidak lagi hanya memberi kursi roda, televisi, topi pilot, atau play station impian terakhir anak-anak kurang beruntung.
Ia juga mendirikan ruang bermain bagi mereka, bahkan mengunjungi anak-anak dan orang dewasa di banyak negara korban bencana.
 Nathalia Tjahja, ibunda Maria Monique. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
"Hidup saya 24 jam untuk mereka. Pukul 11 malam ada yang bilang ingin ranjang Barbie, saya minta teman saya yang tukang kasur bikinkan dan besok paginya jadi, saya antar langsung," tuturnya.
Lebih dari 30 ribu perjalanan kebaikan sudah pernah ia lakukan. Dari seorang ibu rumah tangga yang kehilangan putrinya, ia berubah menjadi “ibu peri” bagi anak-anak dan orang dewasa lain yang berkekurangan. Nathalia juga bisa menjadi penulis serta komposer lagu untuk mereka.
Kini, perempuan 45 tahun itu membuat sebuah film dokumenter. Judulnya
From the Heart, atau
Du Fond Du Coeur dalam bahasa Perancis dan
Galing sa Puso dalam bahasa Tagalog.
Pada 7 Juli lalu, film itu diputar di Institut Perancis Indonesia (IFI) Jakarta bersama Dubes Perancis, Corinne Breuze. Selasa (29/9) nanti, film itu juga akan diputar di salah satu sinema terbesar Manila, Filipina.
Filmnya para pengemisNathalia mengaku pada CNN Indonesia, membuat film sebenarnya tak pernah terlintas di kepalanya. Ia sama sekali tak punya talenta itu.
Tiga pekan sebelum 7 Juli 2015, dirinya dan Corinne merencanakan peringatan ulang tahun Maria Monique yang jatuh pada 5 Juli. Corinne mempersilakan Nathalia datang ke IFI dan melihat apa yang kira-kira bisa dilakukan Kedubes Perancis untuknya.
"Saya melihat ruang auditorium untuk memutar film lalu iseng melontarkan, bagaimana kalau memutar film tentang Yayasan Maria Monique yang belum pernah diputar di mana pun," katanya bercerita.
Usul iseng itu ternyata disetujui. Giliran Nathalia yang kemudian gelagapan. Ia tak pernah membuat film. Pun tak punya dana. Namun akhirnya film itu jadi hanya dalam tiga pekan.
Selain Haryo Bangun Wirawan yang membantu masalah penyuntingan gambar, Nathalia juga punya sepasukan pengemis.
Nathalia menjadi sutradara, produser, sekaligus eksekutif produser dan bintang filmnya. Pemegang kamera adalah pemulung di Semarang bernama Pak Item. Kameranya terpaksa sewa karena tak punya.
Dalam beberapa hari, film itu jadi. Nathalia berbicara, disambung beberapa testimoni dan cuplikan gambar yang pernah diambil CNN Atlanta, lalu ditambah kisah dari beberapa pengemis serta orang tak beruntung di Semarang yang ditemuinya.
Saat film 28 menit itu diputar gratis dan tak mengharapkan imbalan apa pun pada 7 Juli di IFI Jakarta, Corinne berkomentar, "Ini luar biasa."
Setelah Indonesia, Nathalia pun berpikir memutar film yang sama di Manila. Pikiran itu bermain-main dalam benaknya saat melihat gedung pemutaran film di Resorts World Manila. Nathalia bertanya pada kawannya, Bruce Winton, General Manager Mariott.
Winton menjadi perantara Nathalia dengan Owen Cammayo, Director Corporate Communication Resorts World Manila.
Tanpa banyak perdebatan Cammayo mengizinkan film From the Heart, yang diterjemahkan menjadi Galing sa Puso, diputar.
Lagi-lagi giliran Nathalia yang kebingungan. Ia harus bolak-balik Jakarta-Manila padahal tak punya banyak uang.
Ia juga harus melakukan perubahan pada filmnya agar lebih relevan dengan Manila. Pada detik-detik terakhir, semua pun "terjawab."
Perjalanan Nathalia ditanggung. Ia punya bintang baru dalam filmnya. Sylvia Masanque, seorang tua dengan lima penyakit kronis di tubuhnya, dan Juliete, tuna wisma dengan dua anak leukimia. Format layar lebar yang diminta Resorts World Manila yang bisa puluhan juta pun didapat gratis.
Tinggal menghitung hari film itu diputar di Manila. Selasa mendatang, karpet merah akan digelar di gedung pertunjukan.
Bedanya, yang melangkah bukanlah para selebriti Hollywood. Tamu-tamu terhormat Nathalia pengemis, pemulung, pesakitan, dan orang-orang kurang beruntung.
"Tapi mereka akan mengenakan baju bagus, ada baju dari Contempo, Mango, Zara, Alleira batik," tutur Nathalia menyebutkan. Lagi-lagi itu didapatnya melalui donasi orang-orang berhati mulia.
Resorts World Manila bahkan mengumumkan seluruh rakyat Manila bisa datang secara bebas dan gratis.
Setelah Manila, Nathalia mengaku tak tahu ke mana lagi filmnya akan melangkah. Bisa jadi Singapura atau negara lain. Yang pasti sekali film berbujet nol rupiah itu tayang di satu negara, ia tak mau diputar lagi di negara yang sama.
"Karena saya tidak mau film ini dibeli atau dipakai untuk menggalang dana. Makanya diputar sekali saya cukup, dan tidak komersial," tegasnya.