Jakarta, CNN Indonesia -- Sejenak lupakan keceriaan anak-anak dan warna warni Neverland dalam film
Peter Pan (2003) garapan sutradara P.J. Hogan. Kala kisahnya ditarik ke belakang dalam prekuel Pan (2015), semua itu nyaris tak bersisa.
Kini, di tangan sutradara Joe Wright,
Pan digarap dengan khayalan tingkat tinggi. Suasana Neverland digambarkan suram, penuh baku hantam. Kehidupan awal Peter—sebelum menyandang nama belakang Pan—pun tak kalah memilukan.
Dikisahkan, seorang ibu meninggalkan begitu saja bayinya di sebuah panti asuhan. Sebelum pergi, ia menyisipkan sepucuk surat di mantel bayinya dan mengalungkan seuntai kalung berbandul mirip
pan flute di leher si bayi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adegan berikut beralih ke era Perang Dunia I di mana Peter (Levi Miller) telah beranjak besar dan nakal. Di tengah dentuman peluru kendali, sempat-sempatnya ia menyusup ke kamar Ibu Barnabas, kepala panti, bersama sahabatnya, Nibs.
Namun berkat kenekatan dan kenakalannya, ia malah menemukan dokumen dirinya, termasuk surat dari sang ibu. Sampai di sini, adegan tampak normal-normal saja, sampai pada suatu malam, Barnabas dan stafnya mengibarkan bendera bajak laut. Aneh.
Lalu, satu per satu anak panti asuhan raib diculik bajak laut, termasuk Peter. Mereka pun terbawa kapal bajak laut sampai di pegunungan batu tandus: Neverland. Kegilaan pun dimulai saat para penghuni menyambut kedatangan calon penghuni baru.
“
Hello, hello, hello, how low?” koor lagu
Smells Like Teen Spirit pun berkumandang. Melihat adegan konyol ini, penonton dewasa yang mengenal lagu Nirvana tentu saja terbahak. Satu kejutan baru saja disuguhkan sang komposer
Pan, John Powell.
Adegan bergulir cepat, membawa Peter dalam petualangan yang mempertemukan ia dengan Blackbeard (Hugh Jackman), James Hook (Garrett Hedlund), Tiger Lily (Rooney Mara). Kalung berbandul
pan flute Peter jadi kunci penentu kisah.
Pan memperlihatkan kejeniusan Joe meramu kisah klasik
Peter and Wendy atau
Peter Pan, The Boy Who Wouldn’y Grow Up karya J.M. Barrie untuk lakon teater yang dipentaskan sejak 1904, dan dibukukan dalam bentuk novel pada 1911.
Lebih dari seabad kemudian, karakter rekaan Barrie dikreasikan oleh Joe dibantu penulis naskah Jason Fuchs, lalu, dihidupkan oleh tim efek visual. Hasilnya, film yang bertubi-tubi memapar indra penglihatan dengan visual kaya warna dan imajinasi.
“Secara garis besar, film ini memang melukiskan ulang kisah orisinalnya,” kata Joe sebagaimana dikutip Variety. “Saya membaca kisah Peter Pan semasa kecil, lalu membaca material aslinya, dan ternyata kisahnya jauh lebih kaya dan mencekam dari yang pernah saya bayangkan.”
Tak heran bila film yang didistribusikan Warner Bros. ini sarat kejutan. Digambarkan, Peter masih berkawan baik dengan Hook, sebelum ia kehilangan sebelah tangan dan sifat baiknya. “
Pan memang fantasi yang dikembangkan dari buku aslinya,” kata Joe.
Namun agaknya fantasi Joe agak kelewat batas.
Pan dijejali adegan laga lumayan banyak, baik menggunakan pedang maupun tangan kosong, yang tak layak ditonton anak-anak di bawah 13 tahun. Sekalipun tak ada pertumpahan darah di sini.
Terlepas dari aksi laga yang diumbar sepanjang Peter dan kawan-kawan bertualang, film
Pan layak diapresiasi, terutama akting Levi, si bocah Negeri Kanguru, yang jempolan. Ia mampu memainkan perannya sebagai “
the chosen one” dengan apik.
Levi mampu membawa semangat Peter sebagai bocah yang pantang menyerah, pemberani, sekaligus cengeng kala merindukan ibunya. Di luar itu, ia menyimak dengan sungguh-sungguh nasehat yang diberikan Blackbeard, Hook maupun Tiger Lily.
“
Be brave, Peter,” kata Blackbeard. Tiger Lily pun berpesan, “
If you don't believe, Peter, then neither will they.” Namun dari semua itu, yang paling mengena adalah kata-kata Hook, “
I don't know if there is a One. I do know that if you aren't the guy, and you're just you, maybe that's enough.”
[Gambas:Youtube] (vga/vga)