Indonesia Berjalan Seperti Siput Menuju Oscar?

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Kamis, 15 Okt 2015 08:42 WIB
Ketidaksamaan visi misi antara pegiat film dan Pemerintah agaknya menjadi kendala ketertinggalan Indonesia di ajang Oscar.
Menanti momen penting: nama Indonesia tertera di Piala Oscar. CNNIndonesia Reuters Photo/Mario Anzuoni)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak awal ajang penganugerahan penghargaan bagi insan perfilman Academy Awards, pada 1929, telah mengikutsertakan film-film dari negara lain. Artinya, kesempatan berkompetisi juga terbuka bagi film-film non-Hollywood.

Memasuki era 1940-an, film-film dari luar Negeri Paman Sam dikompetisikan secara terpisah dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Sejauh ini, Italia, Perancis dan Spanyol menjadi tiga besar yang aktif mendaftarkan filmnya, dan meraih predikat terbaik.

Setiap negara memang berhak mendaftarkan filmnya ke panitia Academy Awards. Pendaftaran dilakukan oleh perwakilan resmi negara, baik organisasi, juri, maupun komite dari industri perfilman negara bersangkutan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satu negara hanya boleh mendaftarkan satu judul film saja. Indonesia sendiri sudah belasan kali mendaftarkan filmnya, namun belum sekalipun mendapat nominasi, apalagi menggenggam piala Academy Awards yang disebut Oscar.

Sebagaimana diberitakan pada pekan lalu, panitia Oscar atau Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) telah menerima pendaftaran 81 film yang siap berebut predikat Film Berbahasa Asing Terbaik.

Indonesia tak mendaftarkan filmnya. Padahal Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, menjagokan film masing-masing, yaitu Men Who Save the World, Heneral Luna, 7 Letters, How to Win at Checkers, dan Jackpot.

Belum dipastikan apa alasan Indonesia tidak mendaftarkan filmnya di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik untuk perhelatan Academy Awards pada 2016 mendatang. Namun agaknya ketidaksamaan visi misi antara pegiat film dan Pemerintah menjadi kendala ketertinggalan Indonesia di ajang Oscar.

Soal ini, Ketua Badan Perfilman Indonesia Kemala Atmojo menyampaikan pendapat berbeda. Menurutnya, negara tidak berandil mengirimkan sebuah karya film sebagai bagian proses penyeleksian nominasi Oscar, dalam kategori apa pun.

"Mengirim film ke Oscar itu urusan produser, dari dahulu tidak pernah dari suatu negara yang mendaftarkan," kata Kemala kepada CNN Indonesia ketika ditemui di Hotel Mulia Senayan, baru-baru ini. "Itu urusan pribadi produser."

Kenyataannya, memang tak ada organisasi, juri, komite atau produser film Indonesia yang mendaftarkan film ke panitia Academy Awards untuk penyeleksian kategori Film Berbahasa Asing Terbaik, sebagaimana Iran dan Malaysia.

Iran mengirimkan film tentang Nabi Muhammad yang sempat membuat heboh India, karena sineas asal negeri Bollywood itu terlibat dalam penggarapannya. Pihak ulama di India mengharamkan pembuatan film itu.

Sedangkan Negeri Jiran, Malaysia, dengan pede-nya mengirimkan film karya Lie Seng Tat, Men Who Save the World untuk berkompetisi dengan 80-an film berbahasa asing lain di ajang Academy Awards.

Film ber-genre komedi mistik ini menceritakan aksi sekelompok desa yang kocak guna mencegah seorang pemilik rumah tak berpenghuni menghadiahkan bangunan kumuh itu sebagai hadiah pernikahan kepada putrinya.

"Kami sangat berterima kasih kepada Finas, Badan Perfilman Malaysia, atas kesempatan berharga ini," kata produser film Men Who Save the World, Sharon Gan seperti yang dilansir oleh Hollywood Reporter.

"Ini sangat mengagumkan film kami dapat terdaftar untuk Academy Awards. Ini sungguh pengakuan yang besar bagi seluruh tim kami. Kami sangat bahagia dan bersyukur atas semua dukungan yang kami terima," lanjutnya.

Bukan hanya Iran dan Malaysia yang siap berkompetisi di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik Academy Awards tahun depan, tapi juga ada Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Menurut Kemala, perihal pendaftarkan film di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dapat dilakukan individu dengan melampirkan rekomendasi dari asosiasi produser yang dikenal oleh pihak Academy Awards.

Menurut Kemala, salah satu dari beberapa asosiasi produser seperti PPFI dan Aprofi dapat digunakan sebagai pemberi rekomendasi. Kemala sendiri pernah mendaftarkan film Sri (1997) ke ajang Academy Awards.

Setelah mendaftar, pihak tersebut sebaiknya melakukan rangkaian pemutaran film terutama untuk para juri Academy Awards atau AMPAS yang berjumlah 6.000 orang dan tersebar di seantero Amerika Serikat.

"Itu semua butuh biaya yang besar dan negara tidak punya anggaran khusus untuk itu, harganya bisa buat satu film lagi," kata Kemala. "Rp5 Miliar cukuplah, tapi kalau sekadar daftar semuanya juga bisa, saya tidak yakin Malaysia itu beneran publikasi."

Dana tersebut dibutuhkan sebagian besar untuk publikasi dan kebutuhan melaksanakan promosi guna dapat memenangkan Oscars. Namun, besarnya biaya yang dibutuhkan menjadikan banyak sineas Indonesia hanya mendaftarkan filmnya saja tanpa melakukan proses publikasi.

Tetapi, menurut Kemala, negara dapat membantu para sineas menuju ajang Oscar dengan cara memberikan bantuan publikasi di Negeri Paman Sam. Namun yang perlu disadari, besarnya publikasi tak menentukan peluang kemenangan di ajang Oscar, semua kembali pada kualitas film yang ditampilkan.

"Kalau negara yang menentukan film yang akan maju, nanti dapat ribut karena semua merasa berhak. Misal, negara mengirim film Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto, nanti yang hantu ngesot minta dikirim juga," kata Kemala. "Kecuali dari awal negara yang membuat film."

Di sisi lain, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengaku belum dapat memastikan alasan ketidakhadiran Indonesia karena kementerian yang menaungi perfilman itu masih dalam proses penyesuaian dengan badan baru di bawah Kemendikbud, Pusat Pengembangan Perfilman.

"Mohon maaf belum dapat menjawab kenapa Indonesia masih belum ikut Oscar. Kami tengah mengadakan koordinasi terkait Pusat Pengembangan Perfilman ini dengan Badan Ekonomi Kreatif agar tidak tumpang tindih," kata Catarina Mulyana, staff ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud.

Pusat Pengembangan Perfilman dibuat oleh Kemendikbud dalam upaya Kementerian di bawah kepempinanan Anies Baswedan itu menjadikan film sebagai media kebudayaan. Meski tak terlibat dalam Oscar, namun Kemendikbud kerap membantu sineas mengikuti berbagai festival internasional.

Agaknya inilah yang membuat perfilman Indonesia seolah berjalan selambat siput menuju Academy Awards. Padahal perfilman Indonesia sudah bergeliat sejak era 1950-an.

Ironisnya, pada saat negara Asia lain telah "berlarian" di ajang bergengsi tersebut, bahkan film Taiwan, Crouching Tiger, Hidden Dragen, sudah memenangkan Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik, tapi para pemangku kepentingan di Indonesia masih sibuk "berkoordinasi."


(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER