Joshua Oppenheimer: Pembatalan Sesi 1965 Upaya Bungkam Publik

Giras Pasopati, Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Minggu, 25 Okt 2015 18:56 WIB
Oppenheimer menyebut pembatalan seluruh acara bertema 1965 pada Ubud Writers and Readers Festival sebagai pukulan bagi kebebasan berpendapat.
Joshua Oppenheimer. (Getty Images/Jemal Countess)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sutradara film Senyap alias The Look of Silence, Joshua Oppenheimer, menyesalkan pembatalan sesi diskusi panel bertema 1965, termasuk pemutaran film karyanya, di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 yang akan dihelat 28 Oktober-1 November.

Kepada CNN Indonesia, Sabtu (24/10), Oppenheimer mengatakan pembatalan ini adalah salah satu pukulan terkeras bagi kebebasan berpendapat di Indonesia, setidaknya sejak peringatan 50 tahun peristiwa G30S.

"Sangat menjengkelkan, dan saya khawatir tindakan ini adalah upaya militer dan kekuatan bayangannya untuk memperoleh kembali kekuasaan, sebuah upaya untuk mengintimidasi dan membungkam publik," kata Oppenheimer.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia juga mengibaratkan tindakan ini sebagai sebuah "tembakan" langsung ke arah masyarakat sipil. “Saya harap saya salah," ujar Oppenheimer.
Kekhawatiran Oppenheimer sudah muncul saat Kepolisian melakukan upaya paksa membatalkan penayangan filmnya di Jakarta Theological Seminary. Saat itu Kepolisian mengatakan Front Pembela Islam mengancam akan menyerang.

Untuk itu 70 personel polisi mendatangi tempat penayangan film dan mengatakan hendak mengamankan para penonton. Namun, kata Oppenheimer, dia tidak begitu saja percaya.

"Mereka bilang berniat mengamankan penonton, tapi merasa tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya berniat untuk mengintimidasi panitia agar membatalkan acara," ujarnya.

Pada saat yang sama, kata Oppenheimer, Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya justru merestui pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI yang diselenggarakan FPI.

"Lagi-lagi ini membuktikan apa yang kita semua tahu, bahwa kelompok paramiliter adalah bagian dari kekuatan bayangan tentara dan polisi,” ujar Oppenheimer.

Deretan acara bertema 1965 yang dibatalkan panitia UWRF meliputi tiga diskusi panel, pemutaran film Senyap, pameran, dan peluncuran buku. Tiga diskusi yang dibatalkan berjudul 1965, Bearing Witness; 1965, Writing On; dan 1965, Bali.
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.

Secara terpisah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Khoiron mengatakan sentimen anti-Partai Komunis Indonesia masih kuat, termasuk di kalangan Tentara Nasional Indonesia. Hal ini dinilai menjadi salah satu intimidasi terhadap kegiatan pengungkapan peristiwa 1965 di berbagai daerah.
Menanggapi pernyataan Komnas HAM itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Tatang Sulaiman mengatakan “Akan mempelajari lebih dulu” soal tudingan tersebut.

Klaim tak intervensi

Kapolres Gianyar Ajun Komisaris Besar Farman menyatakan pembatalan sesi 1965 di UWRF dilakukan oleh panitia sendiri, bukan Kepolisian.

“Tidak ada intervensi dan larangan. Kami (Kepolisian) sifatnya mengimbau, mengingatkan. Ini kan festival sastra dan budaya yang sudah berjalan 12 tahun. Tapi kenapa baru sekarang mau mengangkat masalah PKI,” ujar Farman.

“Apa betul untuk memperingati 50 tahun PKI? Warga Indonesia kenapa harus memperingati PKI? Kenapa enggak memperingati Indonesia merdeka? Sastranya mau mengarah ke mana?” kata Farman.
Panitia menegaskan UWRF merupakan wadah dan forum terbuka yang tak terkait politik. “Diskusi justru untuk menghormati para korban,” kata Hanna Nabila, Koordinator Media UWRF 2015.

Apapun, panitia mengatakan memilih untuk “Mengalah demi kelangsungan Festival ke depannya.” (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER