Ubud, CNN Indonesia -- Sepekan sebelum pelaksanaan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015, ajang perkumpulan para penulis dan pembaca internasional, panitia disibukkan urusan pembatalan sesi. Seluruh diskusi, peluncuran buku, dan penayangan film bertema sensitif dibatalkan menjelang acara.
Kabar itu lantas menjadi berita utama di banyak media, lokal maupun internasional. Hampir semua menggarisbawahi sensor yang masih jadi masalah di Indonesia, dan menyalahkan pihak berwenang.
Namun ditegaskan Ketua Program Nasional UWRF 2015 I Wayan Juniarto, pemerintah dan polisi lokal hanya memberi masukan soal pembatalan sesi itu kepada panitia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada tekanan, bahkan tidak ada kata melarang. (Mereka berbicara dengan) sangat sopan," kata Jun saat berbincang santai dengan CNN Indonesia di Ubud, Bali, Rabu (28/10).
Perhatian pertama mereka, kata Jun, soal penayangan film
The Look of Silence (Senyap) garapan sutradara Joshua Oppenheimer. Film itu bercerita dari sudut pandang Adi Rukun, keluarga korban pembantaian 1965 yang mencari kebenaran soal mengapa sang kakak turut menjadi korban.
"Bahasa Pak Kapolres, 'Jangan membuka luka lama, ini masalah yg masih sensitif bagi bangsa kita.' Tidak semua orang setuju, sama seperti tidak semua orang tidak setuju,"Ketua Program Nasional UWRF 2015 I Wayan Juniarto |
"Film itu tidak lulus sensor. Pernah diajukan ke Lembaga Sensor Film (LSF), tapi ditolak," kata Jun. Kepolisian pun menyarankan agar film tidak ditayangkan, apalagi di acara sebesar UWRF yang merupakan festival sastra skala internasional.
Kata Jun, itu terjadi pada 8 Oktober lalu. Setelah itu, kepolisian pun melihat lebih lanjut sesi-sesi program yang lain, dan menemukan ada beberapa diskusi serta peluncuran buku terkait 1965. Mereka juga memberi masukan agar itu dibatalkan saja.
"Mereka merujuk pada aplikasi izin kegiatan kami," ujar Jun. Ia memperlihatkan pada CNN Indonesia, dalam izin kegiatan yang dikeluarkan kepolisian, ada satu ketentuan yang berbunyi, panitia harus menaati ketentuan atau masukan dari pejabat setempat.
Aturan nomor berikutnya menyebutkan, kepolisian dapat membubarkan atau menghentikan jika ditemukan ada penyimpangan atau pelanggaran.
Setelah berdiskusi dengan tim dan Yayasan Mudra Swari Saraswati yang menaungi UWRF, panitia pun memutuskan membatalkan sesi-sesi sensitif itu. "Yayasan ini kan organisasi Indonesia. Berdiri di Indonesia, berdasarkan hukum Indonesia. Jadi kami harus menaati aturan Indonesia," Jun menjelaskan.
Panitia sempat bernegosiasi dan meminta pertimbangan, namun setelah tiga pekan akhirnya memutuskan mengumumkan pembatalan sesi. Adanya tema 1965 sendiri muncul mengikuti isu yang diusung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair, tengah Oktober lalu. Apalagi ini sudah tahun ke-50 sejak peristiwa itu terjadi.
Pembatalan itu, kata Jun, bukan sebagai bukti polisi tidak mendukung UWRF 2015. Kepolisian tetap menurunkan empat tim mengamankan UWRF yang rangkaian acaranya dimulai esok, Kamis (29/10). Namun masukan untuk batal juga muncul dari diskusi dengan komunitas adat. Mereka sama-sama tidak ingin kontroversi dan gangguan keamanan timbul.
"Bahasa Pak Kapolres, 'Jangan membuka luka lama, ini masalah yg masih sensitif bagi bangsa kita.' Tidak semua orang setuju, sama seperti tidak semua orang tidak setuju," Jun kembali berkata bijak.
(rsa/utw)