Sensor Masih Isu 'Seksi' di Dunia Seni Indonesia

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Kamis, 29 Okt 2015 11:14 WIB
Sensor masih masalah utama dunia perfilman Indonesia. Wewenang sineas atau pembuat film berhenti setelah filmnya melewati masa pascaproduksi.
Ilustrasi sensor. Sensor masih masalah utama dunia perfilman Indonesia. (Thinkstock/emin ozkan)
Ubud, CNN Indonesia -- Ketika korban peristiwa 1965 yang berziarah ke makam ayahnya di Indonesia dideportasi, majalah kampus Lentera dilarang terbit, dan sesi-sesi diskusi terkait 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 dibatalkan, media-media asing meributkan perkara sensor yang masih mengekang.

Itu menjadi pertanyaan utama dalam konferensi pers UWRF 2015 di Ubud, Bali, pada Rabu (28/10). Apalagi Nia Dinata, salah satu pembicara dalam konferensi pers itu dengan tegas menyatakan, sensor adalah masalah utama dunia perfilman Indonesia sampai saat ini.
"Indonesia masih menjadi salah satu negara di Asean yang harus memotong film sebelum ditayangkan di bioskop. Kami harus menyerahkan film pada Lembaga Sensor Film (LSF)," ujarnya saat diminta membagikan pengalaman seputar dunia perfilman, sebagai salah satu sutradara kenamaan Indonesia.

Wewenang sineas atau pembuat film berhenti setelah filmnya melewati masa pascaproduksi. "Karena begitu Anda menyerahkan film itu pada mereka, Anda tak pernah tahu apa yang akan terjadi," katanya, disambut tawa insan jurnalis yang hadir, yang kebanyakan berasal dari media asing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu pula yang terjadi pada film Joshua Oppenheimer, The Look of Silence (Senyap). Film tentang pencarian kebenaran yang melihat dari sudut pandang Adi Rukun, seorang keluarga korban pembantaian 1965 itu hanya bisa diputar di kalangan terbatas. Pemutaran film di UWRF 2015 juga dibatalkan.

"Sekarang ada kemajuan. Ada aturan baru bahwa penyensoran harus dikonsultasikan dengan pembuat film. Kami masih terus berjuang sekarang, agar alih-alih memotong film, mereka memberi klasifikasi (usia penonton)," kata Nia melanjutkan penjabaran.

Eka Kurniawan, penulis yang juga hadir dalam konferensi pers bahkan sejatinya dijadwalkan menjadi salah satu pembicara soal sesi 1965 menambahkan, dunia buku cukup beruntung karena tidak harus disensor sebelum masuk percetakan.

"Kami bisa menulis hampir semua hal sejak era 1998," ujar Eka. Namun, setelah buku itu terbit, hal-hal yang tak terduga masih bisa terjadi. "Bisa ditarik dari toko buku, diskusinya dilarang, peluncurannya dibatalkan," katanya menambahkan. Tapi semua itu bisa "dilawan" dengan berbicara.
Ketika isu sensor merundung penyelenggaraan UWRF tahun ini, perbincangan banyak media asing bisa menjadi "suara" yang cukup kuat untuk "melawan."

Menurut I Wayan Juniarta, Manajer Program Nasional UWRF 2015, upaya itu harus dilakukan perlahan. "Negara ini masih muda, butuh proses," katanya saat berbincang dengan CNN Indonesia usai konferensi pers. Penyensoran yang terjadi, jika diimbangi upaya komunikasi yang baik, pun bisa menjadi jembatan bagi protes melawan sensor itu. (rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER