Pasca Disc Tarra, toko penjualan CD musik terbesar, menyatakan akan menutup 40 gerainya pada akhir tahun ini, wacana soal apakah rilisan fisik masih diminati pasar, ramai kembali. Padahal wacana ini sudah keluar masuk ruang obrolan sekitar 2011 hingga 2013 silam.
Lalu apa persoalannya? Apakah sekadar karena penutupan Disc Tarra (dan sebelumnya Aquarius Mahakam)? Bagi saya, sepertinya pertanyaan itu lahir dari kebingungan melihat ironi bahwa pada saat bersamaan penjualan rilisan fisik band-band independen (indie) di toko-toko musik alternatif.
Ketiklah di Google tentang tren penjualan rilisan fisik di Indonesia, maka akan terpampang artikel di sejumlah media yang mewartakan masih adanya orang yang membeli rilisan fisik di sudut-sudut
basement Blok M Square, Pasar Santa, toko-toko kecil seperti Ommunium atau Kineruku di Bandung atau toko sejenis yang kini menjamur hampir di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika memang harus diberi sekat antara indie dan
mainstream, maka kita bisa berangkat dari mengamati iklim di dalam skema masing-masing. Dari produksi, distribusi, hingga pemasaran yang mengupayakan tingginya konsumsi, perlakuan dua ranah ini sudah beda.
Sebuah band indie kebanyakan akan berkutat dengan dana dari koceknya sendiri untuk merampungkan sebuah album. Inilah mengapa jumlah rilisannya pun seringkali terbatas, atau katakanlah, tidak sebanyak band yang disokong label.
Rilisan-rilisan ini biasanya didistribusikan ke toko-toko yang memang sudah terbiasa menjual rilisan fisik dari band-band semacam ini, meski ada juga yang melakukannya secara swadaya melalui pemesanan langsung lewat band yang merilis. Artinya, rilisan fisik band-band indie didistribusikan di jalur yang berbeda dari band-band yang ada di arus utama.
Bahkan, barangkali, hanya rilisan-rilisan keluaran Demajors, label sekaligus distributor independen terbesar di Indonesia, yang memasarkan rilisannya di toko-toko besar seperti Disc Tarra.
Keberadaan “jalur khusus” ini yang kemudian melahirkan laku kolektif antara band, toko musik, dan pembeli untuk terlibat dalam kerja sama yang lebih cair. Toko musik independen, dalam posisinya sebagai distributor, tidak melulu berlaku sebagai penyalur saja. Mereka terlibat membesarkan iklim skema itu sendiri melalui berbagai cara dan berbagai alasan.
Misalnya, banyak orang-orang yang mendirikan toko musik independen berasal dari lingkar pertemanan dengan musisinya sendiri. Ada juga yang akhirnya menjadi teman setelah si musisi menitipkan rilisannya pada si penjual.
Meski pada dasarnya pelaku bisnis ini, baik indie atau
mainstream, tetap saja mencari untung, motif bisnis produsen dan distributor rilisan fisik independen seperti itu tidak sekaku mereka yang bermain di arus utama. Ada faktor kesenangan yang bisa menjadi pertimbangan untuk memaklumi jika memang harus menekan jumlah yang sanggup mereka jual.
Seringkali sistem
wholesale minimal lima keping rilisan pun sudah cukup untuk membuat sebuah toko menjual rilisan dari sebuah band. Itulah yang membedakan motif bisnis toko rilisan fisik independen dan toko rilisan fisik yang dinaungi sistem korporasi besar.
Interaksi kolaboratif lain antara toko dan band juga bisa berbentuk penyelenggaraan
event bersama yang bertujuan mendongkrak penjualan. Sebut saja kegiatan Record Store Day, Cassette Store Day, Terminal Musik Selatan, diskon serempak yang diadakan oleh toko-toko rilisan fisik di Pasar Santa, atau acara-acara bazar di beberapa lokasi. Rata-rata, yang menggagas acara-acara tersebut adalah para pemilik toko rilisan fisik yang saling berkoordinasi untuk sama-sama membentuk dan memelihara pasar mereka.
Dalam pagelaran Record Store Day pada April tahun ini, misalnya, beberapa toko seperti Warung Musik dan Heyfolk! berinisiatif mengkoordinasi acara.
Rilisan-rilisan fisik khusus acara ini dikeluarkan, toko-toko musik lain diundang. Band-band independen mengisi acara, selain tentu menjual rilisannya. Hasilnya, Bara Futsal, Jakarta Selatan, yang menjadi lokasi acara, penuh sesak oleh pembeli dan penjual.
Kolaborasi antara band, penjual, dan pembeli seperti ini tidak terjadi di toko-toko arus utama. Keberadaan toko seperti Disc Tarra sekadar tempat rekreasi yang kebetulan didatangi, bukan penggiat aktif yang membentuk pasarnya. Pasar bisa diciptakan, kata personel Efek Rumah Kaca. Dan sebelum menciptakan, pasar harus dibaca dulu.
Bukan apa-apa, ketika sebuah skena yang aktif terisi oleh partisipasi semua pihak, maka yang terbangun adalah komunitas. Pendekatan ini terbukti efektif, apalagi dengan kecenderungan konsumen sekarang yang selalu ingin menjadi bagian dari sesuatu yang tidak umum, tapi keren.
Hipster, bahasa lugasnya. Mereka bertukar pamer di media sosialnya untuk mendapat pengakuan sebagai bagian dari sesuatu yang sedang tren itu.
Apakah pola ini selalu bersifat positif? Tidak. Dengan laju pasar alternatif ini, definisi pasar itu sendiri terlalu luber dan cair. Semua orang diterpa gejala ini habis-habisan hingga kegiatan membeli rilisan fisik itu sendiri menjadi simbol sosial yang harus disemat. Rilisan fisik tidak lagi berarti medium, tapi juga gaya hidup yang harus diperjuangkan mati-matian.
Hal negatif kedua adalah liciknya permainan ekonomi. Jika dahulu keterbatasan finansial menjadi alasan sebuah band takut merilis musiknya dalam format fisik, maka sekarang faktor itu menjadi senjata utama mengeruk keuntungan.
Semakin sedikit jumlah rilisan fisik dikeluarkan, harga yang dipasang bisa semakin tinggi hanya dengan menambah label “stok terbatas” pada rilisannya. Pasar yang sudah kadung menikmati rilisan fisik sebagai status, tak pelak, kalap.
Mereka berebut, tidak mau ketinggalan dari yang lain. Dari sini, kemudian muncul para penimbun. Mereka membeli rilisan fisik terbatas itu dalam jumlah banyak, kemudian ketika stok yang ada sudah habis sementara konsumen masih ada yang mencari, maka mereka akan melepasnya dengan harga selangit. Ambil contoh, rilisan-rilisan fisik yang sengaja dijual terbatas pada penyelenggaraan Record Store Day kemarin.
Kaset Morfem, band fuzz rock Ibu Kota yang, yang pada saat acara hanya dijual sebesar Rp 25.000, harganya melonjak jadi Rp 175.000 di tangan penimbun seminggu setelah acara dengan alasan sudah susah dicari.
Dengan melihat geliat ekonomi pasar alternatif tersebut, muncul pertanyaan: apakah toko-toko rilisan fisik besar seperti Disc Tarra bisa terselamatkan nasibnya jika memakai pola serupa? Bisa, tapi sulit. Konsumen sudah semakin terkonstruksi dikotomi
indie-mainstream, bagus-jelek, yang dibentuk oleh orang-orang yang terlibat dalam praktik ekonomi musik
indie itu sendiri.
Jika tidak ingin menjadi korban selanjutnya dari gejolak pasar rilisan fisik yang unik ini, sebaiknya toko-toko rilisan fisik besar mulai jeli membaca pasar.
Mereka bisa membangun jaringan dengan label-label musik independen dan aktif membentuk dan merawat pasar seperti yang dilakukan toko-toko musik alternatif. Motif-motif konsumen harus secara teliti diperhatikan sebagai landasan strategi pemasaran.
Insight yang sudah usang sebaiknya diperbarui. Konsumen rilisan fisik hari ini sudah bukan ikan yang harus dipancing dengan keberadaan toko di sebuah mal besar atau merek.
Konsumen rilisan fisik hari ini adalah mereka yang ingin dilibatkan dan dianggap sebagai bagian dari apa yang mereka cintai: musik. Maka jadilah peserta perayaan pasar musik itu sendiri, bukan penjual semata.