Teguh Karya 20 Tahun Berkarya, 54 Piala Citra

Vega Probo | CNN Indonesia
Senin, 23 Nov 2015 21:49 WIB
Sepanjang dua dekade berkiprah sebagai sineas, Teguh Karya telah menghasilkan belasan film kaliber Piala Citra.
Ilustrasi sinema (Thinkstock/ktsimage)
Jakarta, CNN Indonesia -- Teguh Karya, salah satu nama besar di perfilman Indonesia pada eranya yang mungkin asing di telinga generasi milenial. Bisa dimaklumi, mengingat terakhir kali ia menggarap film pada 1989 di mana generasi milenial baru lahir atau masih bayi.

Sepanjang dua dekade berkiprah sebagai sineas, Teguh telah menghasilkan belasan film. Namun bukan sembarang film, melainkan film kaliber Festival Film Indonesia (FFI). Rata-rata filmnya diganjar lebih dari satu Piala Citra.

Teguh meraih Piala Citra pertama lewat film ke-dua yang digarapnya, Citra Pertama (1973). Tak tanggung-tanggung, film yang dibintangi Christine Hakim ini memboyong sekaligus lima Piala Citra, juga menembus box office.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agaknya Teguh belajar banyak dari film pertamanya, Wajah Seorang Laki-laki (1970), yang flop. Padahal, sebagaimana disebutkan di laman Teater Populer, film yang dibintangi Slamet Rahardjo ini “memiliki nilai teknik dan artistik tinggi.”

Selepas Cinta Pertama, Teguh seolah menjadi “langganan” Piala Citra. Terbukti, 10 dari 13 filmnya diganjar Piala Citra. Dikutip dari laman Teater Populer, berikut ini jumlah Piala Citra yang diborong film-film Teguh Karya:

- Cinta Pertama (1973) menang lima Piala Citra
- Ranjang Pengantin (1974) menang lima Piala Citra
- Kawin Lari (1975) menang tiga Piala Citra
- Badai Pasti Berlalu (1977) menang tiga Piala Citra
- November 1928 (1978) menang delapan Piala Citra
- Usia 18 (1980) menang tiga Piala Citra
- Di Balik Kelambu (1982) menang enam Piala Citra
- Doea Tanda Mata (1985) menang empat Piala Citra
- Ibunda (1986) menang sembilan Piala Citra
- Pacar Ketinggalan Kereta (1989) menang delapan Piala Citra

Tak heran bila prestasi sineas kelahiran Pandeglang, Banten, 22 September 1937 ini amat gemilang. Sebagaimana profil singkat di laman Teater Populer, sejak muda, Teguh sudah kenyang “makan” sekolah film di Indonesia dan Amerika Serikat.

Setelah menuntaskan studi bidang seni laku, penyutradaraan dan penata artistik di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di usia 24 tahun, pemilik nama asli Steve Liem Tjoan Hok ini melanjutkan kuliah di East West Center, University of Hawaii.

Kembali ke Indonesia, Teguh sempat praktik kerja di Perusahaan Film Negara. Lalu, meniti karier sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia (1961-1972), pengajar ATNI, pendiri Teater Populer (1968) dan anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1972).

Pengalaman paling berharga, tentu saja, saat bekerja untuk sutradara terkenal, dari D. Djajakusuma, Nyak Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh sampai Asrul Sani, baik sebagai penata artistik, pemain maupun asisten sutradara.

Kesempatan mempelajari sinematografi secara autodidak menjadi bekal bagi Teguh untuk menyiapkan “amunisi”—film-film garapan sendiri yang tak kalah hebat dibanding para sutradara senior. Hingga namanya pun layak disejajarkan.

“Teguh Karya adalah sutradara hebat yang layak disejajarkan dengan sutradara hebat lain, dari Wim Umboh sampai Chaerul Umam,” kata Didi Kwartanada kepada CNN Indonesia saat dihubungi via sambungan telepon, pada hari ini (23/11).

Menurut editor buku Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa ini, salah satu keunggulan Teguh adalah netralitas dalam berkarya. “Sekalipun keturunan Tionghoa, ia tidak pernah membawa isu etnis dalam filmnya.”

Tahun ini, panitia FFI memberikan apresiasi bagi Teguh yang dianggap berandil besar memajukan perfilman Indonesia, serta melahirkan maestro-maestro sineas Indonesia. Sebut saja, Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Ayu Azhari dan Alex Komang.

"Tahun ini, kita mengadakan acara puncak FFI di Banten, kebetulan Teguh Karya juga lahir di sana," ujar Olga Lydia, selaku ketua panitia FFI 2015 kepada awak pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pengaruh Teguh dalam perfilman Indonesia, menurut Olga, tidak dapat dilupakan. Maka dari itu, dengan FFI ini, seluruh jajaran panitia FFI ingin mengenang jasa dan memutar film-film garapan Teguh agar masyarakat dapat mengenalnya lebih jauh.

"Teguh adalah tokoh sineas penting, belum tentu sineas muda mengenal sosoknya. Maka dari itu, dengan keberadaan film-film Teguh Karya dalam FFI tahun ini, diharapkan sineas muda akan semakin mengenal sosok almarhum sineas legendaris itu," ujar Olga.

Dia adalah pekerja yang baik. Dia yang mengajarkan kami bagaimana mencintai pekerjaan. Kalau kamu menjadi orang film maka kamu harus mencintai film itu dengan segala cara. Bagaimana caranya? Kerja keras dan belajar.Slamet Rahardjo tentang Teguh Karya
Sementara itu di kesempatan terpisah, Olga menyatakan siap mengundang anak didik dan anak buah Teguh. "Kita bisa lihat betapa anak didik Teguh Karya orang hebat semua," kata Olga saat ditemui usai Malam Nominasi FFI 2015 di Plaza Indonesia, Jakarta, baru-baru ini.

Salah seorang anak didik Teguh, Christine Hakim, mengaku habis-habisan digembleng sang sineas agar mampu menerapkan disiplin, totalitas, komitmen, dan integritas tinggi.

"Teguh mengajari saya menjadi seorang profesional," Christine menegaskan. "Semua pembelajaran yang Teguh berikan, masih saya terapkan hingga saat ini."

Senada dengan Christine, Slamet Rahardjo pun memuji Teguh. "Dia adalah pekerja yang baik. Dia yang mengajarkan kami bagaimana mencintai pekerjaan. Kalau kamu menjadi orang film maka kamu harus mencintai film itu dengan segala cara. Bagaimana caranya? Kerja keras dan belajar."

Dikatakan Didi, Teguh stres berat saat terjadi kerusuhan  Mei 1998 yang menyudutkan etnis Tionghoa, hingga memicu stroke. Pada 11 Desember 2001, Teguh meninggal di usia 64 tahun. Indonesia kehilangan sang sineas yang menjunjung tinggi netralitas.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER