Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak pernah terlintas dalam otak saya sebagai penggemar berat band Coldplay untuk melontarkan pernyataan ini: saya merindukan Coldplay yang lama.
Hingga album musik berjudul
A Head Full Of Dreams yang baru dirilis pada Jumat (4/12), grup musik Britpop asal Inggris yang digawangi Chris Martin itu memang menunjukkan perubahan aliran musik yang sudah mencapai taraf mencengangkan.
Sejak pertama kali merilis album perdana mereka pada 1999,
Parachutes, kemudian disusul oleh
A Rush Of Blood To The Head (2001), dan
X&Y (2004), Coldplay tetap mengusung aliran musik yang sama, yakni pop kelam. Sangat khas: lantunan petikan gitar mencekam yang penuh dengan gema ala Jon Buckland, gaungan piano Chris Martin yang membayang-bayangi telinga para pendengarnya, serta dentuman bass Guy Berryman yang menghanyutkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi saya mendengar musik Coldplay terkesan sederhana, tenang dan apa adanya. Serasa pulang ke rumah.
Namun ketika Coldplay merilis album bertajuk
Viva La Vida (2006), terjadi perubahan besar. Nuansanya penuh kekinian: hentakan drum ala
Electro Dance Music (EDM), menyisipkan nyanyian rapper, serta lirik yang tidak lagi misterius dan terlalu mudah ditebak.
Waktu berjalan dengan cepat. Album-album
Mylo Xyloto (2011),
Ghost Stories (2014), dan
A Head Full of Dreams gantian dirilis mengambil jalur yang sama.
Coldplay telah berubah dari empat anak muda dengan gaya sederhana dan celana gombrong khas Britpop, menjadi
rockstar dengan musik yang terpengaruh EDM dan dielu-elukan oleh para penggemar barunya, yang mungkin belum pernah mendengar Coldplay di era
Parachutes atau
A Rush Of Blood To The Head.
Will Champion, selaku penggebuk drum band, pun terlihat kehilangan profesinya, yang digantikan oleh hentakan drum mesin ala
synthizer.
Musik Coldplay sekarang seperti pesta yang tak kunjung usai: megah, gaduh dan lincah.
Sang pentolan Coldplay, Chris Martin, tak menolak rumusan itu. ia mengaku dirinya telah meninggalkan gaya bernyanyi
falsetto yang ia banggakan dalam dua album pertamanya.
"Kami ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ketiga album terakhir kami adalah sebuah trilogi, dan kami telah menyelesaikan semua itu. Mungkin tidak semua orang akan menyukai (
Viva La Vida), namun kami sedang mencoba hal baru dan ingin menyelesaikannya," ujar pria yang sekarang berumur 38 tahun itu, kepada
Rolling Stone, pada 2008 silam.
Jelas tidak ada yang salah dengan perubahan musik Coldplay itu. Mungkin itu semua bagian dari perjalanan hidup semenjak Martin menjadi
rockstar dan menikahi aktris Gwyneth Paltrow.
Juga perubahan gaya bermusik itu kalau diukur dari hasil penjualan album mereka, beralasan adanya.
Menurut Recording Industry Association of America, Coldplay berhasil menjual jutaan keping album-album mereka yang sudah berubah gaya itu. Di Eropa saja,
Viva La Vida terjual sebanyak 3 juta keping, begitu pula dengan
Mylo Xyloto, yang terjual dengan jumlah yang sama.
Namun sebagai penggemar ada pertanyaan yang menggelantung. Mengapa tidak ada lagi lagu sekualitas
Yellow atau
In My Place misalnya? Ini bukan soal laris tidaknya penjualan album, tapi soal rasa Coldplay yang telah hilang. Para Coldplayers, penggemar Coldplay, sering berdebat dengan perubahan ini dan banyak yang merasa di era musik EDM, Coldplay telah kehilangan jati diri.
Belum lama ini, para penggemar Coldplay terkejut ketika Martin mengisyaratkan bahwa album teranyar mereka,
A Head Full of Dreams, dapat menjadi akhir dari segalanya bagi grup musik itu. Titik dimana Coldplay merasa tidak mampu lagi menawarkan warna musik yang baru tapi khas Coldplay.
Saya, sebagai orang yang telah mendengar Coldplay sejak 1999, tentu saja sedih kalau hal ini benar terjadi. Keinginan saya dan banyak Coldplayers lain hanya agar Coldplay pulang dari pesta dan kembali ke rumah yang mungkin kelam tapi menyejukkan.
(dlp)