Jakarta, CNN Indonesia -- Kakak beradik Moyo dan Tupu tinggal di rumah kayu bersama ayah mereka, Baba, pekerja keras yang hanya punya satu tangan. Namun potret damai keluarga ini berantakan gara-gara gambar segitiga merah di depan rumah mereka.
Tanpa alasan jelas, Baba lantas ditangkap sekelompok orang bersenjata, diikuti lenyapnya Moyo yang semula pergi untuk mencari ayahnya. Tinggallah si kecil Tupu yang tak lagi mengeluarkan suara setelah kehilangan semua yang dicintainya.
Demikian cerita berjuluk
Mwathirika (bahasa Swahili yang berarti korban) yang dimainkan kelompok teater boneka Papermoon Puppet Theatre. Intinya, memaparkan kenyataan yang dialami banyak orang Indonesia pada era Orde Baru di mana mereka mengalami pembungkaman setelah kudeta gagal 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masing-masing boneka digerakkan dua pemain yang tampak oleh penonton. Kedekatan pun terbangun melalui keheningan yang menyebar di sekeliling panggung serta absennya dialog dan bahasa. Hanya ada gestur yang dipahami secara universal, bagi siapa saja mampu mempelajari “sejarah kehilangan” dan “hilangnya sejarah” dari Indonesia.
Mwathirika dibawakan Papermoon Puppet Theatre dalam 16 kali pementasan, tiap malam berturut-turut, dalam program
Discover Indonesia di Inggris, pada Agustus 2015.
Discover Indonesia adalah program memberangkatkan rombongan seniman pertunjukan ke Inggris, hasil kerja sama British Council dengan Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Dinas Pariwisata Provinsi Aceh.
Selain Papermoon Puppet Theatre, penampil lain adalah kelompok musik Kande dari Aceh dan sanggar tari Soeryo Soemirat dari Surakarta. Para seniman ini menampilkan karyanya di empat panggung seni pertunjukan bergengsi di Inggris, yakni C Venue (Edinburgh), Southbank Centre (London), Cryptic (Glasgow), dan Wales Millenium Centre (Cardiff).
Ketika di Edinburgh, rombongan seniman tersebut tampil di festival seni pertunjukan internasional terbesar, Edinburgh Fringe. Di sinilah Kande meraih penghargaan Herald Angels untuk karyanya
Aceh Meukondroe dan Papermoon dinominasikan dalam Fringe Sustainable Practice Award 2015.
Aceh Meukondroe adalah rilis ke-dua Kande yang mengabungkan gendang tradisional Aceh dan instrumen musik Barat, seperti gitar dan bass, serta dinyanyikan dalam bahasa Aceh.
Arti harafiah
Meukondroe adalah “Jika Bukan Kita,” yang bercerita tentang gonjang-ganjing Ranah Aceh, beberapa tahun lalu, dimulai dari tsunami 2004 hingga konflik sipil dalam gerakan kemerdekaan.
“ Apresiasi
audience-nya luar biasa. Di sesi
workshop, kami dijejali pertanyaan yang sudah diprediksi tapi tak menyangka sedalam itu, misalnya, ‘Bagaimana Aceh berkesenian sebelum dan sesudah tsunami, karena sekarang diterapkan syariat Islam,’” kata Zulkifli, vokalis Kande, dalam jumpa wartawan di British Council Jakarta, pada Kamis (17/12).
“Kami jawab, kami aman-aman saja, bisa berekspresi, berkesenian asalkan tanpa melanggar syariat Islam. “
Produser Discover Indonesia Rama Thaharani menjelaskan, program ini bertujuan memperkenalkan produk budaya Indonesia yang berbeda, bukan yang seni tradisi, melainkan seni kontemporer, walau kali ini menghadirkan juga kelompok tari klasik Soerya Soemirat. Tak kurang 30 karya dipentaskan secara langsung (
live).
Sebelumnya, Sardono W. Kusumo dan Teater Garasi sukses mengundang kekaguman penonton.
“Untuk memperkenalkan karya-karya Indonesia harus masif, harus terdiri dari beberapa rangkaian. Masuk ke pasar internasional sangat penting bagi Indonesia. Bukan hanya terhubung tapi juga berpentas di sana,”ujar Rama yang mempersiapkan Discover Indonesia selama 1,5 tahun.
Discover Indonesia bermula dari inisiatif British Council memperkenalkan industri kreatif dan kesenian Indonesia dengan mengundang delegasi seni dari Inggris menghadiri Indonesia Performing Arts Market (IPAM) 2013.
(sil/vga)