Jakarta, CNN Indonesia -- Karya Sitor Situmorang dimulai di era Orde Lama, namun tak lama, langkahnya dijegal di era Orde Baru. Lumrah bila tak banyak generasi muda yang mengenal sang penulis maupun karyanya.
Padahal Sitor termasuk sosok penting di dunia sastra. Jasa dan karya pria kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 2 Oktober 1923, ini tidak lekang oleh waktu dan layak dikenang.
Hal tersebut diakui oleh pengamat sastra, Zen Hae. Secara popularitas, Sitor berbeda dengan sastrawan lain, seperti Chairil Anwar, yang menurutnya, lebih dikenal dibandingkan Sitor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tapi bukan berarti menjadikannya terkesan sebagai pengikut, justru ia memperluas dunia sastra dengan cara dan ciri khasnya sendiri,” ujar Zen kepada CNN Indonesia.com, pada Selasa (19/1).
Zen sendiri saat ini tengah disibukkan dengan persiapan perilisan buku kumpulan kritik puisi beberapa penyair Indonesia seperti Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Gus tf, Sindu Putra, M. Aan Mansyur, dan Avianti Armand.
Di mata Zen, Sitor adalah penyair yang dikenal mengangkat dan mendayagunakan pantun Melayu dalam beberapa karyanya. ”Puisi Indonesia modern yang kental dengan permainan estetika pantun,” jelas Zen.
Yang juga menjadikan Sitor berbeda, menurut Zen, adalah karya yang ditorehkannya penuh dengan pengalaman pribadi.
“Sebuah bentuk autobiografi atau catatan hariannya, mengenai cinta, zaman yang berubah, dan lingkungan sekitar. Dengan bahasa yang sangat baik, membuat bahasa Indonesia lebih bagus.”
Ia juga melihat bagaimana darah Batak yang mengalir di diri Sitor juga memberikan warna yang berbeda dalam setiap puisi dan cerpen yang diciptakan.
"Sitor memperlihatkan semangat perantau, dan komitmen tinggi dengan budaya batak,” Zen menjelaskan.
Namun seperti yang ia ungkapkan sebelumnya, dibandingkan dengan penyair lainnya, Sitor jarang menjadi panutan generasi baru untuk ditiru.
“Fenomena yang terjadi pada era tahun '40 dan '50-an, saat penyair lain banyak dijadikan panduan dan panutan, lain halnya dengan Sitor,” kata Zen.
Alasannya lebih kepada karya Sitor sendiri yang kurang menarik untuk ditiru. Zen meyakini, “Karya milik Sitor terlalu pribadi, sulit untuk ditiru dan menarik perhatian beberapa generasi baru."
Meskipun begitu, ada beberapa aspek yang bisa diambil dari sosok Sitor dalam setiap karyanya, yang hingga saat ini masih berguna dan bermanfaat dalam dunia sastra.
“Cara pandang, gaya menulis, dan bagaimana ia mengolah pantun dalam puisi merupakan hal yang layak dicontoh, termasuk sisi kritis seorang Sitor terhadap lingkungan dan cinta."
(vga/vga)