Jakarta, CNN Indonesia -- Gulontam Situmorang tidak setuju jika sajak
Kaliurang (Tengah Hari) disebut sebagai puisi pertama ayahnya. Putra ke-tiga Sitor Situmorang itu menemukan puisi lain yang usianya jauh lebih tua, menurut penelusuran sejarah.
Pasar Senen, judulnya.
Puisi itu yang dibacakan putrinya dalam acara mengenang satu tahun meninggalnya Sitor di Taman Ismail Marzuki, Rabu (20/1). Pasar Senen juga muncul sebagai tajuk acara
Pasar Senen, Sitor dan Harimau Tua. Lokasi itu berarti bagi seniman.
"Elemen Pasar Senen adalah salah satu tempat yang menjadi berkumpulnya para intelektual dari berbagai bidang. Politik, seni, film, musik, wartawan pun kumpul," kata Gulontam pada CNN Indonesia saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa itu sekitar tahun 1950-an, tak lama setelah Indonesia merdeka. Gulontam mengatakan, pada masa-masa itu para pemuda Indonesia sejak dalam pencarian bentuk keindonesiaan. Terutama mereka yang intelek dan butuh penyaluran berupa diskusi.
"Kemampuan itu perlu diadu. Terjadilah dialog-dialog, diskusi-diskusi," tuturnya.
"Di dekat Stasiun Senen itu, ada rumah makan padang yang juga bisa menjadi tempat ngopi. Rutin jadi tempat
nongkrong yang sifatnya 24 jam," Gulontam melanjutkan.
Rumah makan padang di Senen yang dimaksud Gulontam bernama Ismail Merapi.
Dari penelusuran internet ditemukan, Pasar Senen sudah menjadi tempat nongkrong sejak sekitar 1930-an. Para mahasiswa dan aktivis datang dari berbagai penjuru Nusantara. Seniman pun beraktivitas di sana: bermain musik, menulis sajak, sampai cerita.
Mereka kemudian disebut sebagai "Seniman Senen." Lokasi itu dipilih karena dekat dengan Gedung Kesenian Jakarta dan studio film Golden Arrow. Lokasi pun strategis dan bisa dijangkau dengan mudah serta murah.
Dari hasil berkumpul dan berdiskusi, keluar beberapa nama tokoh besar yang ahli di bidang masing-masing. Sebutlah Chairil Anwar, Sobron Aidit, Djamaluddin Malik, Wolly Sutinah, termasuk Sitor Situmorang.
"Itu kondisi yang spontan, tidak diatur. Seniman, tukang obat, maling, jagoan, preman, berkumpul. Orang Barat menyebutnya
melting pot. Pasar Senen
melting pot kaum intelektual," ujar Gulontam menuturkan.
Orang-orang dengan berbagai latar belakang berkumpul, punya berbagai macam hasil.
Nama "Seniman Senen" meredup setelah, pada 1968, Ali Sadikin meresmikan Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta. Para seniman yang dahulu
nongkrong di Pasar Senen pun "hijrah" ke kawasan Cikini. Kini, seni bergejolak di TIM, tempat sahabat dan penggemar Sitor berkumpul malam ini.
(rsa/vga)