Jakarta, CNN Indonesia -- Ramai-ramai menanggapi wacana Ketua Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf soal peluang investasi bagi asing, terutama di bidang perfilman. Ada yang menanggapi secara positif, ada pula yang negatif.
Sebagian insan sinema lokal menyatakan siap bersaing, sebagian lain merasa terancam dengan kehadiran pihak asing. Bagaimana sesungguhnya atmosfer ranah sinema jika kelak wacana tersebut mewujud nyata?
Bila bercermin pada ranah sinema di Eropa, terutama Perancis, yang sudah lebih dulu maju dan sejak lama membuka peluang investasi bagi asing, ternyata atmosfernya sangat menyenangkan dan bergairah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Atmosfer sinema di Perancis sangat aktif, sangat hidup,” kata Tjandra Wibowo kepada CNN Indonesia.com, baru-baru ini. Mantan penyiar berita sebuah stasiun televisi swasta ini pernah menjadi produser film
Lost in Love.Syuting film tersebut dilaksanakan di beberapa lokasi di Perancis selama 24 hari. Menurut Tjandra, dalam radius sekitar satu kilometer dari lokasi syuting
Lost in Love ada syuting beberapa film lain.
Tim-tim sinema dari berbagai negara, dikatakan Tjandra, seolah berlomba mengambil gambar-gambar indah Perancis. Hal ini tak terlepas keleluasaan yang diberikan pemerintah Perancis kepada tim sinema asing.
Pemerintah Perancis membuka peluang bagi tim sinema asing untuk memasuki negerinya dan menikmati keindahan alamnya. Lalu, tim sinema asing merekam dan menyiarkan keindahan Perancis ke seluruh dunia.
Pada akhirnya, rekaman itu—film—membuat banyak orang tertarik datang ke Perancis. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi Perancis. Lewat film dan berkat kerja sama dengan sinema asing, negerinya dikenal dunia.
Dalam membina kerja sama sinema antar negara, pihak Perancis, menurut Tjandra, bersikap adil. “Mereka membuka peluang kerja sama dengan tim sinema asing, sekaligus memproteksi tim sinema lokalnya sendiri.”
Salah satu contohnya, sumber daya manusia (SDM). Pemerintah Perancis menegaskan, jumlah tim lokalnya yang terlibat dalam suatu produksi sinema harus sama dengan jumlah tim asing. Ibarat 10 banding 10.
Pokoknya, kata Tjandra, jumlah tim Perancis tidak boleh lebih sedikit dari tim Indonesia atau tim asing. Lebih banyak, boleh. Jadi tim film
Lost in Love yang berangkat ke Perancis, saat itu, hanya
key person saja.
Proses kerja samanya sendiri terbilang tak rumit. Produser Indonesia menjalin kerja sama dengan produser Perancis. Untuk selanjutnya, si produser Perancis itulah yang menyiapkan tim dan lokasi untuk tim Indonesia.
 Atmoster ranah sinema Perancis sangat bergairah berkat proteksi pemerintah setempat. (CNN Indonesia Reuters Photo/Charles Platiau) |
Yang menyenangkan, menurut Tjandra, pola kerja tim Perancis sangat efektif dan efisien. Satu orang bisa menangani banyak pekerjaan sekaligus secara profesional. Berbeda dengan tim Indonesia yang “boros.”
Satu
lightingman, dikatakan Tjandra, melakukan tugasnya dari si supir truk yang membawa peralatan sampai si ahli tata cahaya. Sekalipun lokasi syuting berpindah-pindah, ia tetap melakukan tugasnya dengan baik.
“Betul-betul
compact, sangat bertanggung jawab, profesional, dan mengerti kebutuhan klien. Hasilnya memuaskan banget,” Tjandra memuji. “Sedangkan di sini [Indonesia], setidaknya butuh empat
lightingman.”
Jika ternyata si
lightingman tidak becus atau tidak disiplin, maka produser Perancis langsung memecat dan menggantinya dengan
lightingman lain. Walau film terhitung pekerjaan
nyeni, disiplin tetap tinggi.
Pengalaman bekerja sama dengan tim sinema Perancis, diakui Tjandra, membuat tim sinema Indonesia belajar bekerja secara efektif dan efisien. Selain itu, juga membiasakan diri bekerja dalam sistem yang rapi.
Yang jelas, selama pemerintah memproteksi tim sinema lokal, maka kehadiran tim sinema asing tak perlu dianggap “membahayakan.” Tim sinema asing bertujuan mempromosikan keindahan negeri, bukan menguasai.
Bila Indonesia membuka peluang kerja sama dengan asing di ranah film, maka bisa bercermin pada Perancis, dari soal proteksi sampai budaya kerja. Tak kalah penting, asosiasi yang memayungi pekerja film.
Di Perancis, menurut Tjandra, asosiasi perfilman setempat memegang peranan penting dalam menetapkan standar kerja dan gaji. Asosiasi juga cekatan menangani beragam masalah dan memperjuangkan nasib pekerja.
Tanpa adanya asosiasi sinema yang mumpuni dan mengatur segalanya, sikap pekerja sinema bakal egois, individual, dan parahnya lagi, merasa paling hebat, lalu membuat kubu (squad) sendiri.Tjandra Wibowo, produser video dokumenter dan film |
“Di sana [Perancis], tidak berlaku ‘harga teman.’ Semua pekerjaan dilakukan secara profesional,” kata perempuan yang kini aktif menggarap video dokumenter. Harga profesional itu relatif terjangkau bagi Indonesia.
Dikatakan Tjandra, tim sinema Perancis terdiri dari berbagai kelas yang bisa dipilih sesuai bujet tim sinema asing. Di kelas mana pun pola kerja mereka tetap profesional, karena diawasi asosiasi yang memayunginya.
Tanpa adanya asosiasi sinema yang mumpuni dan mengatur segalanya, diyakini Tjandra, sikap pekerja sinema bakal egois, individual, dan parahnya lagi, merasa paling hebat, lalu membuat kubu (squad) sendiri.
Hal yang perlu dicermati tim sinema Indonesia bila kelak menjadi tuan rumah di negeri sendiri: sejauh mana kesanggupan bekerja sama dengan tim sinema asing yang biasa bekerja profesional, efisien dan efektif.
Jangan sampai, Tjandra berharap, tim sinema Indonesia malah kedodoran, karena tidak biasa disiplin dan profesional. Apalagi pemerintah dan asosiasi yang menaungi juga belum sepenuhnya memberikan proteksi.
Era keterbukaan ranah sinema, diyakini Tjandra, pasti menimbulkan benturan budaya. Sebagian tim sinema Indonesia pasti gamang menerima tim sinema asing. Namun inilah kesempatan membuktikan kehebatan.
“Beruntung tim sinema Indonesia yang berpengalaman bekerja sama dengan tim sinema asing. Tidak ada lagi ketakutan. Bersaing ya, ayo saja!” kata Tjandra. “Yang penting
positive thinking: kita bisa maju bersama-sama.”
(vga/vga)