Kontroversi Liberalisasi Industri Sinema Nasional

Dedy Sofan | CNN Indonesia
Minggu, 31 Jan 2016 10:13 WIB
Film, budaya, dan idealisme pihak asing yang berbeda, dikhawatirkan akan menyulitkan film lokal dan pengusaha bioskop lokal.
Ilustrasi film. (ktsimage/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana liberalisasi industri film oleh Pemerintah, yang membuka kesempatan bagi banyak pihak, termasuk asing, untuk berbisnis dan berinvestasi, mendapat tanggapan beragam dari beberapa pihak.

Meski demikian, tetap diberlakukan aturan, terutama segi distribusi dan eksibisi film. Pemerintah menetapkan aturan terkait lokasi operasional: pembukaan bioskop baru hanya boleh di wilayah tertentu.

Sutradara Garin Nugruho melihat kondisi ini sebagai hal yang wajar dan sulit dicegah, berkaitan dengan pasar bebas ASEAN. Hal ini disampaikan kepada awak media massa, belum lama berselang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Selama karier saya di industri perfilman, kita harus bisa membaca situasi,” ujar Garin yang baru saja meluncurkan film terbarunya, Aach Aku Jatuh Cinta, dan berikutnya Kisah Kue Bulan, pada Februari.

Sang sineas senior menegaskan, bahwa upaya Pemerintah harus tegas dan keras dalam menetapkan aturan dan sistem yang berkaitan dengan industri jasa perfilman, berlaku untuk semua pihak.

“Jangan sampai ada pembiaran dari pihak Pemerintah, dengan tidak hanya menjadikan pihak asing atau global sejahtera, tapi juga lokal yang turut pula bisa merasakannya,” ia menjelaskan.

Hanya saja, ia melihat upaya dan kinerja Pemerintah memajukan industri perfilman Indonesia terbilang masih sangat lamban. ”Harus lebih banyak dukungan untuk membantu produksi film lokal."

Pendapat yang bertolak belakang disampaikan Chand Parwez Servia, produser dan pemilik dari rumah produksi Star Vision. Secara tegas, ia menolak keputusan Pemerintah tersebut.

“Melalui Asosiasi Perusahaan Film Indonesia, kami sudah mengirimkan surat penolakan kepada Mendikbud, Bekraf, BKPM, dan Kemenko Perekonomian," kata Chand, baru-baru ini.

Intinya, menurut Chand, surat itu berisi penolakan dari para pelaku industri sinema lokal yang merasa tidak perlu adanya keputusan tersebut oleh Pemerintah.

“Produk kreatif merupakan budaya, jangan diperlakukan seperti dagangan,” jelas Chand yang meyakinkan bahwa film berperan besar dalam budaya Indonesia.

Lebih lanjut Chand menuturkan, bahwa seharusnya Pemerintah sebaiknya membantu membangun industri perfilman Indonesia agar bisa memiliki produk yang lebih baik ke depannya.

Pemerintah membangun infrastruktur yang lebih baik untuk industri film seperti lebih banyak sekolah film, atau memberikan kemudahan untuk film lokal dengan pajak yang lebih ringan.

“Negara seperti Korea Selatan meningkatkan industri hiburannya yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahnya. Dari musik, film, hingga kuliner. Dan itu tidak dapat dibangun secara instan,” ucapnya.

Sedangkan untuk aturan distribusi dan eksibisi film, Chand melihatnya sebagai langkah tepat mendekatkan warga dengan film, karena selama ini mereka kesulitan menikmati film di bioskop.

Aturan yang diberlakukan bagi pihak asing itu menetapkan lokasi pembangunan bioskop hanya kawasan yang belum memiliki bioskop dan tidak berada dekat bioskop lokal.

Namun di sisi lain, menurut Chand, aturan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait film lokal dan budaya Indonesia.

“Pembangunan bioskop memang menjadi bisnis yang menggiurkan, terkait sistem digital yang digunakan untuk pendistribusian filmnya, namun kehadiran pihak asing bisa berbahaya bagi budaya Indonesia, jika dibayangkan jangka panjangnya,” kata Chand, waswas.

Film, budaya, dan idealisme pihak asing yang berbeda, dikhawatirkan akan menyulitkan film lokal dan pengusaha bioskop lokal.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER